Rabu, Desember 17, 2008

Ngantuk


Pagi ini, aku terlalu ngantuk untuk menulis. Terlalu ngantuk untuk berarsitektur.

Setelah semalaman harus berjaga demi mengejar deadline. Sekarang yang tersisa hanya ngantuk. Ngantuk menandakan otak ingin istirahat. Badan ingin istirahat.

~_~

Hoaahmm...

Dipaksa bagaimanapun. Otak ini tidak terputar untuk mengeluarkan ide...

Kosong...

Void...

Karena otak sedang kosong, void, istirahat dari arsitektur, di otakku muncul si orang penting, muncul rencana liburan, orang tua, kampung halaman dll, yang datang sekelebat, seperti sedang memberi tahu, bahwa kehidupanku bukan cuma di arsitektur, bahwa ada hal lain yang layak disejajarkan untuk dipikirkan.

Ketika otak sedang kosong, void, timbul pemaknaan baru akan hidupku sendiri.

Luar biasa si void ini. Kalau tidak ada dia, pasti otakku sudah meledak karena terforsir hanya untuk satu hal. Arsitektur.

Aku bersyukur bisa ngantuk...

Mari tidur sejenak dari arsitektur....

Selamat libur akhir tahun....

P.S. :Semoga dalam libur 2 minggu ke depan aku bisa nulis sesuatu...

Senin, Desember 15, 2008

Dosa

Minggu pagi...
Langit masih bergayut mendung, menampakkan wajah suram. Angin dingin yang membelai kulitku semakin memanjakan tidurku. Alarm yang kuset 06.30 sukses diacuhkan. Ya. Pagi ini aku berencana untuk ke gereja mengikuti misa pagi. Gereja kathedral "Roh Kudus" denpasar yang hanya berjarak 30 meter dari pintu kos-kosan yang berarti 'sangat dekat', semakin membuatku malas untuk bangun pagi. Akhirnya aku terbangun jam 08.50, 10 menit menuju misa kedua pagi ini. Dengan persiapan seadanya akhirnya aku berhasil mengikuti misa walaupun dengan setengah ngantuk, setelah hampir 3 minggu tidak ke gereja akibat tumbukan bertubi-tubi dari deadline yang mengakibatkan aku hampir tidak memiliki waktu pribadi.

...

Aku merasa berdosa, menempatkan kerjaan di atas Tuhan. Aku jadi berpikir, apakah menjadi arsitek akan selalu berdekatan dengan dosa? Berapa waktu yang dicurahkan untuk kerjaan dibanding untuk Tuhan?

...

[arsitek vs dosa]

"Mendesain berarti membuat dosa" Begitu kata seorang rekan. Ada benarnya menurutku, karena dalam satu tarikan pensil di atas kertas, seorang arsitek memikul tanggung jawab kepercayaan, keselamatan, dan kenyamanan beberapa (atau banyak) manusia. Human error tak mungkin dihindari, ada resiko arsitek melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian orang lain, yang bahkan mengakibatkan kehilangan nyawa. 

"Dengan pengalaman kita meminimalkan dosa yang kita buat." tutur sang rekan lagi. Memang, bersentuhan dengan tanggung jawab memiliki potensi untuk berbuat kesalahan, berbuat dosa. Kesalahan muncul karena pengalaman yang kurang dalam memetakan masalah. Karena itu slogan "life begins at 40" terasa sangat pas untuk arsitek. Umur dimana pengalaman dapat meminimalkan dosa

...

[Arsitektur vs dosa]

Arsitektur, sepanjang umur hidupnya juga tak luput dari dosa. Terkadang arsitektur sengaja tampil sebagai dosa untuk menggugah kemapanan yang terlanjur 'suci'. Le corbu, dosa atau suci? Minimalis, dosa atau suci? Dekonstruksi, dosa atau suci? Robinhood, dosa atau suci?

Dosa adalah void. Kekosongan yang diberikan sang arsitek untuk diisi dengan makna baru. Jika kosong adalah isi dan isi adalah kosong, apakah dosa arsitektur bisa menjadi arsitektur yang suci?

...

Pada akhirnya dosa menjadi sebuah arena pembelajaran untuk berarsitektur lebih baik, untuk menjadi manusia yang lebih baik, untuk dunia yang lebih baik.

Selamat Natal dan selamat berdosa...

Jumat, Desember 12, 2008

Overture 2008: regression


...
bukankah hidup ada penghentian
tak harus kencang terus berlari
ku helakan nafas panjang
tuk siap berlari kembali…
berlari kembali..
melangkahkan kaki
menuju cahaya
...
(sang penghibur-padi band)

agustus 2007....
Seorang calon sarjana baru melangkahkan kaki ke podium kehormatan di GSP UGM. Kebanggaan yang tersirat di wajahnya semakin disempurnakan ketika tali yang dibebani masa depan di atas topi dipindahkan, dan mendapatkan ijazah biru yang memuat pengakuan.

Kaki harus dilangkahkan...

september 2007...
Seorang sarjana baru mulai menjejakkan kakinya di ranah arsitektur. Kaki yang masih berdebu, belum dilindungi oleh sandal merek berkelas. Hanya sebuah keyakinan dan idealisme yang memberikan kepercayaan diri untuk berlayar di lautannya. Bekerja dalam kechaosan dan kekerasan dunia arsitektur kelas bawah. Membenturkan ide dalam kenyataan yang sangat membatasi, uang. Bermain dengan material yang sangat dekat dengan alam, kayu.

Kaki harus dilangkahkan...

maret 2008...
Seorang arsitek muda menjejakkan kakinya di tanah bali untuk mencari dirinya. Merasa sudah tahu banyak untuk mengetahui lebih banyak lagi. Terdampar di sebuah rumah di balik semak. Belajar bersetubuh dengan alam, menjilat lokalitas, bersenyawa dengan dna. Terkadang idealisme yang dibawa terbentur dalam desain. Perpustakaan kantor menjadi oase yang menyejukkan menggembirakan sebagai seorang yang haus akan keajaiban dunia luar. Mata lebih terbuka. Keinginan untuk mencari jati diri semakin berkobar dengan mempelajari jati diri orang lain, arsitek lain. Berbagai star architect dilirik untuk sekedar menyelami pemikirannya dan mencari inspirasi. Menggantung target untuk meledak.

Kaki tetap melangkah...

Penghujung 2008
Seorang arsitek yang merasa sudah belajar banyak bertemu dengan teman-teman di luar sana lewat dunia maya. Berbagi gossip, pengetahuan dan mimpi. Ilmu yang terlihat luas, semakin terlihat tak terbatas. Ilmu yang sudah dipelajari semakin terlihat sedikit. Menjadi bodoh. Flashback ke masa kuliah. Mencaritahu apa saja yang sudah dipelajari, ternyata nihil! Tidak pernah belajar selain di ruang kelas, yang itupun datang terlambat, tidur dan tidak memperhatikan. Lulus hanya dengan otak bermuatan kosong. Berkarya dengan sok idealis. Tertinggal dalam banyak hal.

Si arsitek itu sekarang, merasa saatnya untuk berhenti....

Si arsitek itu sekarang, merasa saatnya untuk mundur....

Tidak, bukan berhenti dan mundur dari dunia arsitektur. Bukan berhenti seperti saat spiderman yang ingin kehidupan normal seperti istilah dari blog seorang rekan. Si arsitek masih mencintai dunia ini, keteraturan dan kechaosannya.

Dia hanya ingin menempatkan dirinya kembali ke belakang. Menjadi mahasiswa arsitektur. Menjadi orang yang haus ilmu. Mengosongkan ruang otak untuk diisi banyak hal. Berhenti untuk berlari.

Seperti dalam arsitektur, ada ruang positif ada ruang negatif. Yin dan Yang. Isi dan kosong. Solid dan void. Ketika keduanya disandingkan akan menjadi harmoni yang maha dahsyat.

Mundur untuk maju....
Regression for an aggression....

Selasa, Desember 09, 2008

Koruptor Idiot


Di luar sana, tampak langit dibelai oleh kepekatan mendung sang awan. Membawa hujan untuk membasahi kulit bumi yang semakin keriput. Keanggunan ibu alam dalam merawat anak-anaknya itu hanya berjarak seberapa jengkal dariku, di batasi oleh jendela kaca, di dalam ruang ber-ac bernama ruang gajah.

Hari ini, satu periode supersibuk telah dilewati. Satu dari dua periode yang dijejali kedalam 17 hari menjelang libur akhir tahun. Kantor terlihat lengang, tak ada ketegangan seperti yang kemarin kulihat. Semua terasa santai.

Hari ini aku ada pengakuan. Aku mau mengaku kalau aku korupsi di kantor. Korupsi terhadap waktu kerja. Korupsi terhadap komitmen. Korupsi terhadap profesionalitas.

Mungkin karena hari ini serasa sebagai hari untuk mengambil nafas, hari ini sebagian waktu kerja kantor kupakai untuk membaca buku. Ya. Penurunan produksi karena waktu yang kucuri untuk membaca buku adalah korupsi. Yang artinya aku juga seorang koruptor!

Beberapa hari belakangan ini, aku memang sedang senang membaca, senang mencuri waktu untuk melihat keajaiban dunia luar, melihat sihir-sihir dari para penyihir, mencoba mempelajari mantera-manteranya, untuk memuaskan hasrat terpendam untuk menjadi penyihir bergelar arsitek.

Beberapa hari yang lalu aku membaca tracing eisenman. Konsep dekontruksi yang sangat mendarah daging pada karyanya. Konsep presence in absence yang menggambarkan kehadiran dari ditidak hadiran.

Kerja lagi...

Hari berikutnya karena penasaran dengan akar pemikiran eisenman, aku membaca tentang derrida, tentang konsep dekonstruksinya. Tentang pematahan ide metafisika barat untuk menjelaskan keberadaan 'being'. Tentang petanda dan penanda. Tentang differance untuk menggambarkan perbedaan dan penundaan makna didalam sebuah teks.

Lembur lagi....

Kemarin aku membaca tentand libeskind yang sangat mengidolakan void sebagai suatu kekosongan yang hampa. Void sebagai bagian dari arsitektur kontemplatif.

Tegang menjelang deadline.....

Hari ini aku membaca tentang tschumi. Tentang vector, envelopes, program dan context. Tentang requestioning. Tentang disprogramming, crossprogramming, dan transprogramming. Tentang superimposisi.

Limbung...

Terlihat sangat banyak yang kubaca? Kenyataannya, tak ada satupun dari ke empat buku itu yang kubaca selesai. Hanya sedikit yang kubaca dari sedikitnya waktu yang bisa kukorupsi. Dan itu hanya membuatku makin merasa bodoh, merasa idiot, merasa tidak tahu apa-apa dari sebegitu banyaknya ilmu dalam berbagai media di seluruh dunia. Merasa miris mengetahui tidak banyaknya waktuku untuk menyerapnya. 

Hari ini, buku steven holl tergeletak di mejaku, menanti untuk dicicipi. Ya, hanya bisa mencicipi, tidak bisa melahap akibat waktu yang tak bisa kompromi.

Pada akhirnya aku hanya seorang koruptor yang idiot

....

Di luar masih hujan, hanya membunuh waktu menunggu jam pulang kerja...

Rabu, Desember 03, 2008

Void....


Void is an empty space
-wikipedia-

Mulai hari minggu kemarin, si orang penting (baca "orang baik"-red) mengikuti sebuah training untuk pekerjaan barunya di sebuah kamp di jawa barat. Selama seminggu orang penting itu dikarantina dari segala macam dunia luar termasuk dari benda bernama handphone. Handphone yang selalu menjadi media aku dan si orang penting untuk bersapa harus ditahan sementara. Rutinitas untuk bersapa ikut lenyap. Sebuah bagian dari kehidupanku yang biasa ikut lenyap. Ketiadaan yang menyadari artinya ada, ketiadaan yang membuat biasa menjadi lebih baik dari tidak biasa....

void...

Semenjak bekerja di tempat bekerjaku yang sekarang. Lebih dari separuh waktu dalam sehari yang kumiliki adalah untuk bekerja. Untuk memakan ranting-ranting segar di dalam semak. Keseharianku semasa kuliah untuk bermain musik, jalan-jalan, wisata kuliner, pacaran, tidur siang tergantikan oleh pekerjaan yang memakan separuh hidupku. Sisa separuhnya hanya cukup untuk makan, telpon dan tidur. Kamar kos sematawayangku menjadi sebuah kemewahan. Kerinduan akan kesenangan masa kuliah, tergantikan dengan menonton tv (yang acaranya gak karuan) dan membaca. Paling tidak, aku bisa terus menambah ilmu dengan membaca walaupun banyak waktu yang hilang hanya untuk bekerja. Ketiadaan yang menimbulkan keberadaan lainnya....

void...

Arsitektur berkembang seiring sejarah kebudayaan manusia. Sejarah yang merupakan hasil dari proses mengingat tidak luput dari pelupaan. Budaya terus berkembang berangkat dari sejarah. Berangkat dari sebuah serial pelupaan dan pengingatan. Ketiadaan untuk diisi dan berkembang....

void...

Seorang peter eisenman suatu waktu berangkat ke sebuah kuliah tamu di kota yang jauh, dimana wajahnya tidak dikenal. Dia mengklaim pada penyelenggara kuliah bahwa peter eisenman tidak bisa hadir di kuliah tersebut, dan dia yang menggantikannya. Dan kuliahpun berjalan tanpa seorangpun tahu permainan peter eisenman.(dari buku 'tracing eisenman' -red). Sebuah kehadiran dari ketiadaan yang membentuk persepsi yang lebih murni....

void....

Blog yang menandakan sebuah ketiadaan dalam diriku untuk diisi...

void....

Selasa, Desember 02, 2008

Menarilah!



Sudah beberapa bulan aku ngeblog, tapi sepertinya blom pernah nunjukin hasil peras keringatku. Oke, untuk yang pertama kali aku pengen tak tampilkan sketsa photoshopku untuk sebuah project di Jakarta.

Bukan sebuah design yang rumit, hanya sebuah drop off, secuil dari seberapa-besarnya proyek ini. Hanya saja, desain ini menurutku sangat berkesan karena seperti pernah kuceritakan di post pertama tentang arsitektur lansekap, bahwa arsitektur lansekap bisa menjadi sebuah kritik terhadap building. Di sebagian-kecil inilah aku pertamakali menyalurkan sebuah kritik kedalam desain lansekap.

Sebagai gambaran, dropoff ini merupakan sebuah dropoff apartemen. Debu ujung jempol kaki seorang raksasa baru. Kapitalis. Raksasa ini berdiri di atas sebuah arogansi, sebuah ambisi. Sungguh ironis melihat perkembangan jakarta, dimana di satu sisi, perkembangan properti komersial dan kapitalis semakin berkembang, di sisi lain, berderetan rumah kumuh di pinggir ciliwung seakan tidak diperdulikan oleh para 'pengayom rakyat kecil' di atas sana. Kekayaan dan kemiskinan yang sangat kontras, membawa hirupan debu jakarta dalam dikotomi, kemakmuran atau kesengsaaraan.

Drop off yang diberi nama happy garden drop off dengan artwork berupa dancing tribe, dengan torch di tengah dan artwork kepala yang tertawa hadir dalam dikotomi. Sebuah sukacita, menyambut para penimbun harta dengan tarian sukacita, dalam sembah untuk manusia yang menyukai hormat, dan sekaligus menertawakan para manusia awan yang kaya harta namun miskin kebersamaan. Kesuka-citaan dalam tarian sebuah suku primitif, menunjukkan sebuah suka cita tanpa pandang harta, suka cita kebersamaan, kekayaan budaya dan sosial.


Semoga pesan dalam desain ini bisa sampai di hati manusia2 awan itu. Untuk lebih sensitif. Untuk lebih peduli. Untuk lebih baik. Menjadi orang yang baik....

It's a good things to be important, but more important to be good.....





Minggu, November 30, 2008

Cacing

Pernah bermain game Spore Creatures? Sebuah permainan yang cukup populer tentang mengendalikan sebuah makhluk hidup. Pada awal permainan karakter yang diberikan hanya berupa cacing dengan mata besar, seiring permainan berkembang, sang cacing menemukan bagian tubuh yang dapat dipasang pada badannya. Setiap anggota tubuh memiliki kelebihannya masing-masing, sayap untuk terbang, kaki untuk daerah gurun dan untuk berjalan diatas lahar dll. Walaupun anggota tubuh berubah-ubah, dan kita bisa mengkreasikan bentuk makhluk hidup sesuka kita, tapi tetap ada dna yang sama di dalam tubuh makhluk hidup itu, tetap ada otak yang sama yang mengendalikan tubuh makhluk hidup itu, yaitu aku yang sedang bermain game ini di nintendo ds semata wayangku. Yup, sudah beberapa bulan ini, satu-satunya teman pengantar tidur, dan penghilang stress dari kehidupan 'luar biasa' kantorku hanya nintendo ds berwarna hitamku ini.

Sama seperti permainan spore creatures, sekarang aku juga hanya berupa cacing bermata besar, yang takjub dengan kemolekan tubuh arsitektur, takjub dengan drama-drama kehidupan arsitek bintang di luar sana, takjub dengan pandangan orang akan profesi arsitek. Masih berada di awal permainan dengan tujuan ingin terbang, ingin melompat, ingin berlari, ingin berdiri, ingin punya tangan untuk membuat karya arsitektur yang indah. Dan beberapa hari belakangan pikiranku memang sedang terusik semenjak kedatangan seorang arsitek bintang Sonny Sutanto di kantorku yang bercerita tentang bagaimana membuat biro sendiri. Yup! Memiliki biro sendiri, tentu saja menjadi tujuan utama dari hampir semua lulusan arsitektur.

Sebuah mimpi yang sangat besar, dan sangat panjang. Butuh keteguhan hati dan cinta untuk bisa mencapainya. Banyak jalan menuju kesana. Ada cacing yang ketika memiliki tangan dan kaki pertama, langsung berjuang supaya tangan dan kakinya yang kecil cukup kuat untuk mendaki gunung. Ada cacing yang menunggu lama untuk menemukan sayap agar dia bisa terbang ke atas gunung. Ada cacing yang beruntung mendapatkan kaki yang sangat kuat untuk melompat ke atas gunung. Ada yang sepanjang perjalanan menuju puncak terus berganti bagian tubuh, mencari yang terbaik. Bahkan ada cacing yang beruntung di bawa elang terbang ke atas tanpa perlu bagian tubuh.

Kesemua analogi diatas cuma mengarahkanku pada satu kesimpulan, hampir tidak mungkin menuju puncak tanpa memiliki sebuah tim yang solid. Sebuah tim dengan keahlian spesifik dan berbeda masing-masing. Keanekaragaman karakter dengan satu visi. Seorang sonny sutanto mengatakan dalam satu biro harus memiliki 3 karakter untuk jadi besar, the charming guy, the artist, dan the accountant.

I guess i rather choose the charming artist. Ha ha ha

Yang jelas, aku masih butuh banyak bagian tubuh untuk menjadi the charming artist, dengan DNAku sendiri, dengan otakku sendiri. It's still a long way to go. Saat ini, sang cacing bermata besar sedang mengakrabi kesunyian, menunggu sambil belajar memahami dunia, bersuka dan berduka dalam kubangan, menikmati ranting-ranting semak yang sangat nikmat dan nyaman.

So what do you want to be? A tail of a dragon, or a head of a chicken?

Minggu, November 23, 2008

Warna


Color or colour[1] is the visual perceptual property corresponding in humans to the categories calledredyellowblue and others. Color derives from the spectrum of light (distribution of light energy versus wavelength) interacting in the eye with the spectral sensitivities of the light receptors. Color categories and physical specifications of color are also associated with objects, materials, light sources, etc., based on their physical properties such as light absorption, reflection, or emission spectra. (wikipedia)

Hari ini, hari minggu pagi, lagi-lagi dilalui dengan rutinitas ngantor. Sekarang, berlibur saat weekend menjadi suatu yang sangat eksklusif. Setelah 'ngisi absen' di gereja, langsung aja motorku tak pacu menuju kantor di balik semak. Jalan yang tiap hari dilalui, telah menjadi suatu 'kebaikan' dimana kalau 'kebaikan' itu dilanggar akan menimbulkan perasaan bersalah, dosa. 

Flashback ke masa kecil, dimana aktivitas sehari-hari diisi dengan bermain perang-perangan di hutan, menjelajah mencari danau, bermain petak umpet, hidup adalah hal yang penuh dengan kedinamisan, penuh dengan warna. Dulu saat kecil aku diberi banyak warna, sekarang aku telah memilih warna, paling tidak warna yang kupilih harus kupertahankan dan kubuat indah, yaitu dengan mempelajari warna orang lain. Yup, pelajari bagaimana orang lain memperlakukan warna mereka.

Komputer kunyalakan...
Ngenet dulu, trus ngecek blogku yang belakangan cukup jarang diupdate. Baca beberapa tulisan dan comment, sampai aku sadar bahwa 2 tulisan terakhir agak berat, penuh teori. Waduh, kesambet apa nih? Membaca alur blogku sendiri membuatku menyadari warnaku tidak sepenuhnya monokrom, ada warna dalam perbedaan tema tulisanku, dalam pemikiranku, terkadang warna pencarian, terkadang warna perenungan, terkadang warna pembelajaran.

Mendengar bahwa teman-temanku sudah eksis dimana-mana, ada yang jadi dosen, ada yang sudah punya biro sendiri, ada yang keluar negeri, ada yang cemas bagaimana caranya supaya eksis, ada yang belum punya kerjaan, ada yang nyasar keluar arsitektur, membuatku cuma berguman, 'duniaku penuh warna dengan berada diantara warna-warna lain'.

Aku tidak perlu cemas, saat ini aku sedang bergerilya, bergerak di bawah tanah, menyembunyikan eksistensi, merendahkan diri, mengakrabi kesunyian, untuk mempelajari banyak hal tentang warna yang kupilih, belajar untuk meminimalkan cacat warna, belajar untuk memadukan warna, belajar untuk mempertanggungjawabkan warna, dan belajar untuk menikmati warna. Menunggu momentum untuk meledakkan warna, membuat lukisan. Tidak perlu buru-buru....

Enjoy your color...

Kamis, November 20, 2008

intimidated and rebellion space



"Revolution is not a dinner party, nor an essay, nor a painting, nor a piece of embroidery; it cannot be advanced softly, gradually, carefully, considerately, respectfully, politely, plainly, and modestly. A revolution is an insurrection, an act of violence by which one class overthrows another". Mao Zedong

Akhirnya aku punya sejumput waktu, untuk sedikit berceloteh tentang kegelisahan arsitekturalku, setelah dalam kurun waktu yang cukup lama terus dihujani si garis mati (deadline) yang sangat fenomenal di kantorku.

Beberapa waktu yang lalu aku lagi-lagi terlibat dalam diskursus arsitektur ilegal dengan sebuah rekan. Walaupun sebenarnya diskursus ilegal tersebut berjalan relatif satu arah, karena kebanyakan aku hanya mendengar dan sedikit menimpali. Satu kutipan yang masih terngiang sampai sekarang adalah " pembaharuan tidak akan terjadi tanpa revolusi". Revolusi, sebuah kata yang menampilkan disequilibrium,  pemberontakan, ledakan emosional dan kultural, sebuah perubahan. Masih berkaitan dengan kata revolusi, beberapa pekan belakangan, dunia sedang dilanda demam obama, satu hal yang menarik dari sosok fenomenal ini ada janji yang dia kemukakan untuk memenangkan pemilihan presiden amerika serikat dengan slogan " change : we can believe in". Sedikit penggalan pidatonya yang cukup membakar:

“One voice can change a room. And if a voice can change a room, it can change a city. And if it can change a city, it can change a state. And if it can change a state, it can change a nation. And if it can change a nation, it can change the world.” (obama, 2008)

Sebuah janji pembaharuan dengan pidato yang menggunakan abstraksi patriotik yang menurutku mirip dengan pendekatan teori butterfly effect. Sebuah teori dengan analogi bahwa kepakan seekor kupu-kupu bisa menjadi badai di belahan dunia lain. Teori yang lebih rumit dari analoginya. Apakah ini pertanda revolusi? Bisakah seorang obama benar-benar membawa perubahan atau hanya differensiasi?

Ha ha ha..... Nggak, aku nggak akan berbicara politik lebih jauh dari hal tadi, atau aku juga sedang tidak mengajak orang-orang untuk menabuh genderang revolusi. Semua hal tadi hanya pemikiran-pemikiran yang mengantarkanku kembali pada pertanyaan ruang, pada arsitektur. Ruang sebagai sebuah organisme yang punya rasa sensitif. Sebuah bagian dari gaia. Berbicara mengenai ruang yang sensitif, sebuah pertanyaan arsitektural oleh sang superstar bernard tschumi terngiang di kepalaku: apakah ruang sebagai material mempunyai batas? apakah ada ruang diluar batas tersebut? kalau tidak ada ruang, apakah ini berarti sesuatu dibentangkan secara tak terbatas?

Tenang, pertanyaan tersebut memang bisa menjadi diskursus yang panjang dengan level tinggi, dan aku belum sampai kesitu. Dari berbagai kutipan-kutipan dan analogi-analogi diatas, hanya untuk membawaku kepada sebuah kritik akan sebuah keadaan ruang yang unik. Ruang yang diberikan batas secara konteks dan konten untuk menjadi beda, untuk menjadi tumbal, untuk menjadi ruang pembenaran. Bayangkan sebuah ruang yang dituntut untuk menjadi simbol, untuk menjadi menjadi benar dalam sebuah konteks yang sudah terlanjur memperkosa konteks kawasan dan juga memperkosa konsep ruang kompleks itu sendiri. Ruang pembenaran, ruang yang dipaksakan berbagai macam konten untuk menjadi superhero. Akan terjadi jika ruang tersebut merupakan ruang yang penurut. Namun sebagai sebuah bagian dari gaia, ruang juga mempunyai kesensitifan terhadap intimidasi konteks dan konten tersebut, punya keseimbangan di dalam ruang dan punya batasan dalam kesensitifannya. Jika sudah melebihi kemampuan ruang, maka yang terjadi adalah pemberontakan ruang. Terjadi penolakan batas, penghancuran konten, pelecehan struktur, pencorengan muka konteks, penamparan konsep. Ruang kecil yang dihimpit dan diintimidasi secara berlebihan tentu saja ingin bersuara untuk menyampaikan ketidaknyamanannya, kegelisahannya.

Dalam kasus seperti ini, ruang memiliki batas relatif, batasnya adalah ruang lain. Dan ruang selalu bereaksi terhadap batasnya tergantung intimidasi yang diperoleh. Yup! Ruang bisa memberontak, aku nggak berbicara mengenai bentuk, karena pemberontakan bentuk bisa diacuhkan, tapi untuk bisa menampar, diperlukan lebih dari itu.

Apakah ini sebuah bisa menjadi sebuah kepakan kupu-kupu yang bisa menimbulkan badai ruang? Apakah usaha pemberontakan ruang tersebut dapat berubah menjadi revolusi dan membawa ke pembaharuan?

Change, we can believe in....
:-)

Minggu, Oktober 19, 2008

Architecture as a Silent Music


Architecture is "frozen music"… Really there is something in this; the tone of mind produced by architecture approaches the effect of music."
Johann Wolfgang von Goethe

Architecture as the frozen music
Pythagoras


Manusia memang makhluk yang menarik, manusia (termasuk aku) punya akal budi yang punya potensi yang sangat luar biasa. Berbeda dengan hewan, manusia diberi akal budi untuk mencipta. Mencipta sesuatu yang dinamakan budaya. Salah satu produk akal budi yang kemudian ditambahkan emosi adalah seni. Seni merupakan representasi fraktal dalam koridor tatanan dan emosi akan hubungan manusia dengan alam. Kemampuan manusia dalam merepresentasikan alam ini berbeda-beda tergantung peta kekuatan akal budi masing-masing, sehingga terciptalah berbagai cabang seni dengan berbagai macam style.

Seni memang berasal dari alam. Termasuk arsitektur dan musik. Banyak sudah para pandai-pandai di luar sana yang berhasil menghubungkan antara musik dan arsitektur. Bahkan seorang pandai bernama pythagoras mengaburkan batas antara arsitektur dan musik dengan frase "arsitektur sebagai musik yang beku". Hmmm.... Memang perlu diskursus yang panjang untuk membahas frase ini. Tapi menurutku, sebagai suatu produk akal budi yang memiliki proses yang sama untuk mengolahnya menjadi apa yang disebut seni, keduanya hanya berbeda dari indera dominan yang digunakan.

Jadi teringat, sewaktu masih berstatus mahasiswa, yang masih sangat ekspresif dalam menyampaikan emosi, aku punya sebuah band yang memainkan lagu-lagu bergenre hard rock/rock n' roll. Pada saat latihan, ketika seluruh komposisi, rhytm, lirik, melodi, frase, dan emosi dimainkan dalam sebuah lagu, ruang studio musik yang berharga 25ribu pershift seluas 4x5 tiba-tiba menjadi sangat luas, tak ada sudut-sudut yang dilapisi oleh bahan kedap suara, imajinasi, emosi menembus dinding ruang, langit-langit yang hanya setinggi 3 meter seakan tanpa batas menembus, menyentuh sudut bintang. Tidak lagi berada di dalam sebuah ruang sempit, tapi sudah pindah ke ruang imajinatif yang sangat personal, seluruh emosi dan ruang menyatu dalam sebuah kesederhanaan sekaligus kedalaman sebuah lagu dan lirik. Jika musik bisa meruang, aku yakin arsitektur juga bisa bernyanyi.

Musik bisa diekstraksi menjadi ruang, sebaliknya arsitektur juga dapat dinadakan sebagai musik. Bahkan keduanya bisa melebur menjadi satu dalam bahasa ruang atau nada.

Kembali ke frase phytagoras dan wolfgang, menurut saya, arsitektur lebih dari itu, arsitektur bukan musik yang beku, kebekuan tidak bernyanyi, kebekuan itu stagnan, mati suri. Musik dan arsitektur berasal dari representasi alam, dan alam adalah material yang sangat dinamis dalam ke-chaos-annya. Arsitektur adalah musik yang diam, musik yang secara dinamis tetap bersenandung dalam kesunyian dan kediaman. Musik yang bisa ditangkap secara visual ataupun dengan menyelami makna keruangannya. Musik tanpa suara yang mengalun dalam nada-nada yang tercipta didalam benak penikmat ruang. Musik yang tidak hanya sebatas tampilan tablatur, komposisi, ritme, frase, modulasi, ketukan, perkusif, melodis, tapi lebih dari itu, terdapat kedinamisan makna yang terus bergerak dalam sunyi. Tumbuh, berevolusi, lahir dan mati. Menarik penikmat ruang kedalam makna dan musiknya.

Arsitektur yang didalamnya ada building, landscape dan alam, terus menyanyikan makna. Saling berinteraksi, saling berimprovisasi dengan bahasa musik masing-masing, membentuk sebuah orkestra visual yang dinamis.

Hmmm....

Mari bermusik dengan arsitektur

Minggu, Juni 29, 2008

Hijau

Pernah dengar kata hijau? Dulu hijau 'hanya' sekedar warna. Salah satu warna dominan yang menghiasi wajah bumi selain biru. Warna yang segar, natural, menenangkan, kalem. Namun belakangan ini, hijau bukan hanya sekedar warna, makna kata hijau meledak, membesar, bermutasi menjadi makna yang semakin besar dan luas. Menjadi sebuah gaya hidup, filosofi, dogma yang mempengaruhi sedemikian banyak orang di seluruh bumi. Bahkan arsitektur juga tak luput dari 'tren' hijau ini.

Masih terbayang jelas, dulu, saat aku masih ingusan di 'rimba' kalimantan, tak sulit menemukan pohon-pohon besar, hutan yang luas, dan udara yang sedemikian segarnya hingga cukup dihirup sekali untuk mendapatkan kesegaran selama berminggu-minggu (hiperbolis memang, namun begitulah perasaan yang kualami). Sering sekali aku dan teman-teman 'rimba'ku bermain perang-perangan dengan biji karet, berlarian dengan ringannya diantara semak-semak dan pohon-pohon. Bersembunyi di balik daun-daun besar dan semak-semak liar yang tumbuh dengan bebasnya. Menjelajah hutan bak seorang petualang yang ingin menemukan sumber energi yang langka. Menantang arus di riam-riam yang cukup ganas. Menyebrangi sungai-sungai kecil yang dialiri air-air gunung yang segar. Menemukan danau kecil tersembunyi yang airnya sangat bening, sehingga dasarnya yang memang tidak terlalu dalam dapat terlihat jelas.

Namun sejak kalimantan yang perawan mulai di perkosa oleh perkebunan kelapa sawit dan penebang hutan liar, satu-persatu noda bermunculan, ribuan hektar hutan menjadi hutan kelapa sawit, diratakan, dibakar, ditebang, ditinggalkan, digerogoti, diperas, dinistakan, direndahkan, disia-siakan. Bencana asap semakin sering, banjir sudah menjadi rutinitas tahunan, dan banyak lagi bencana alam, ekonomi dan sosial yang diderita oleh masyarakat kalimantan.

Sebagai anak 'rimba' yang mencoba berarsitektur, hati dan otakku tercakar dengan kepedihan, ingin memberikan sesuatu kepada 'rimba'ku, dan memori masa kecilku. Aku ikut dirasuki oleh wabah 'hijau' supaya otakku yang kecil ini bisa berguna sedikit untuk tanahku. Salah satu alasan kenapa aku memilih untuk menjadi 'tukang kebun' daripada arsitek bangunan dan ingin belajar banyak dari 'tukang kebun senior'di sebuah rumah di balik semak,sanur.

Kata 'hijau' sungguh luar biasa dikembangkan oleh orang-orang arsitektur yang pintar di luar sana. Tak terhingga teknologi telah diciptakan untuk membuat arsitektur lebih memikirkan lingkungan, lebih bersahabat dengan alam. Dari lampu hemat energi, photovoltaic, atap rumput, hingga metode konstruksi yang hemat energi. Bangunan-bangunan dengan label 'hijau' berlomba-lomba dibangun oleh arsitek-arsitek ternama di seluruh belahan dunia. Sebuah tren yang positif (semoga saja). Suatu citra yang ingin kucapai sebagai arsitek sebelum aku datang ke sanur.

Di sanur, aku belajar tentang lokalitas, betapa hebatnya lokalitas, dan yang begitu luar biasa adalah betapa hijaunya lokalitas. Sebelumnya aku terlalu banyak melihat keluar, sehingga kejeniusan di dalam tubuh sendiri tidak terlihat. Dengan membawa nama 'lokal' segala sistem yang berjalan didalam suatu bangunan sangat harmonis dan sinergis dengan alam. Siklus-siklus yang telah ada sebelum bangunan tercipta tidak terganggu dengan adanya bangunan. Bahkan bangunan memiliki siklus sendiri. Tidak ada pemaksaan arsitektur, semua sangat 'normal'. Sensitif terhadap keinginan bumi yang dipijak, bukan hanya keinginan manusia. Aku menemukan bukan energi yang menjadi kata kunci dalam arsitektur hijau, tapi siklus. Siklus arsitekturlah yang harus direncanakan secara mapan, bumi-material-konstruksi-dekonstruksi-material-bumi. Entah itu menghabiskan energi banyak atau sedikit, jika sudah mengedepankan siklus yang hijau, bumi tidak akan menderita. Apakah ini hanya sebuah mimpi arsitektur idealis? Paling tidak wacana ini yang akan kupegang untuk berkarya dalam 'rimba' yang liar bernama arsitektur.

Beberapa waktu yang lalu aku menemukan sebuah image yang luar biasa di internet. Apa ini bisa dikatakan arsitektur hijau? Hmmmm.....



Kamis, Juni 26, 2008

Ruang ternyaman (revelation)

Kata adalah sejarah, sejarah adalah kata dan sekaligus bukan kata.

Relatif dan absolut tidak pernah absolut sebagai kata sekaligus tak akan pernah relatif sebagai kata.

Kata tidak pernah stabil sebagai sebuah kata. Tidak stabil hanya merupakan penistaan terhadap kestabilan.

Generalisasi memudahkan pemahaman kata sekaligus mengaburkan pemahaman kata.

Semua kata adalah absolut (acuan=otak=relatif) ketika berada dalam otak, namun ketika keluar dari kepala, akan menjadi relatif.

Keadaan kata yang absolut adalah ketika kata itu dialami, yang tentu saja relatif terhadap kata yang sama pada acuan yang berbeda.

Jangan tanyakan artinya, alamilah kata!

Ruang ternyaman



Tidak terasa sudah hampir 4 bulan aku mengais rejeki di sebuah studio desain dibalik semak di sanur, bali. Sudah 3 kali aku masuk keruang akuntan kantor untuk menanda-tangani sebuah kertas dan kemudian keluar dengan senyum selebar-lebarnya. HA HA HA HA!!!!! Aku tertawa keras didalam hati yang menurutku dengan energi tertawa sekeras aku akan bisa merobohkan bangunan kantorku dan menyapu siapapun yang berada di sekitarku dalam radius 10 kilometer!!!!

Sayang aku tidak cukup gila untuk mengeluarkan tertawaku itu, dan akibatnya semua makhluk dan benda disekitarku masih baik-baik saja. Paling orang-orang disekitarku cuma melirik dengan takjub, seakan berkata dalam hati "gila nih orang, senyum-senyum sendiri, ndeso banget, kayak gak pernah gajian aja"

Hah! Yang penting aku senang!

Kemudian aku teringat orangtuaku. Tak traktir pulsa ah, biar mereka bangga pada anaknya yang sudah bisa nyari duit sendiri. Ok! Begitu jam menunjukkan pukul 6 aku langsung cabut dengan motor supra x 125 ku yang menurutku agak sakit kurang istirahat. "Yah nanti giliranmu tak traktir, sekarang antar aku beli pulsa dulu. Ok?" kataku kepada motor sematawayangku agar dia tidak iri karena aku mentraktir orangtuaku. Walaupun sampai sekarang dia belum juga tak anter check-up. Haha! Sabar ya.

Setelah pulsa sukses terkirim, kemudian datanglah sms dari ibuku. "Makasih ya" Deg!! Tiba-tiba seluruh memori tentang ibuku menyerang otakku. Menampilkan adegan-adegan yang bernilai dari yang gembira sampai yang sedih. Satu sengatan ide tiba-tiba menyerang otakku. Ibuku ternyata juga arsitek!

Kenapa bisa begitu?

Bayangkan, seorang ibu, bisa menyediakan sebuah ruang untuk seorang calon bayi yang sangat rapuh, melindunginya dari bentuk sel hingga tumbuh menjadi calon manusia yang sudah siap menghadapi tidaknyamannya dunia. Sebuah ruang yang tidak hanya nyaman secara fisik, namun juga secara emosional. Ketika tiba di dunia, sang bayi menangis, apakah itu mengisyaratkan dia tidak rela dijauhkan dari kenyamanannya?

Sepanjang hidup dan sejarahnya, manusia selalu mencari "kenyamanan". Apakah ini sebuah nostalgia akan memori masa bayi seorang manusia? Yang jelas kata "kenyamanan" tidak akan pernah bisa dijelaskan secara objektif, akan selalu subjektif. Mungkin memasang kata "relatif" di belakang kata "kenyamanan" membuatnya menjadi lebih terbuka dan subjektif. Kenyamanan relatif. Relatif terhadap kenyamanan tubuh lain di luar tubuh sendiri. Dan relatif terhadap kenyamanan tubuh sendiri, karena kenyamanan absolut tubuh sendiri tak akan pernah tercapai dan selalu berubah-ubah.

Balik lagi, apakah kenyamanan ruang ibu merupakan kenyamanan absolut yang manusia cari? Apakah arsitektur merupakan upaya manusia mencari kenyamanan absolut seperti kenyamanan dalam ruang ibu? Apa sebenarnya kenyamanan itu?

Hmmm..... kalo bisa masuk lagi ke "ruang ibu" mungkin aku bisa menjawab apa arti kenyamanan relatif bagiku...

Minggu, Mei 25, 2008

orang baik

Beberapa waktu yang lalu, aku mengikuti sebuah acara wisuda di UGM. Yang wisuda tentu saja "orang penting" makanya aku datang sebagai pendamping wisuda. Setelah masuk ke ruang undangan dengan bantuan "orang dalam". Akhirnya aku menemukan sebuah tempat duduk yang stategis yang bisa dengan leluasa memonitor "orang penting" yang sedang wisuda.

Tak disangka ternyata aku duduk di belakang salah satu tokoh politik terkenal Indonesia, yaitu pak Amin Rais! Kesan yang timbul bukan "Ye ye, aku ketemu orang terkenal!", tapi : "Oalah orang terkenal di depanku ternyata pendek!" Ha ha ha ha....
Maaf pak,...

Tentu saja, seperti acara wisuda yang sudah pernah kulewati, acaranya sangat membosankan. Aku bahkan sempat nyaris tertidur beberapa kali, kalau saja yang duduk di belakangku bukan orangtua si "orang penting" tersebut. He he he....

Kemudian tibalah di suatu acara, salah satu wakil wisudawan untuk memberi sambutan. Seorang kartini muda, yang dengan bangga melangkah ke arah podium.

Setelah beberapa patah kata pembukaan konservatif dengan embel-embel yang saya cintai, hormati, dan banggakan, sang kartini muda memulai sambutannya mewakili wisudawan/i. Sebagai seorang sarjana sastra Indonesia, kata-kata yang mengalir begitu indah dan berkelas, istilah-istilah yang bahkan sangat jarang ditemukan di koran seperti dehumanisasi, liberalisasi, aktif-preventif dan banyak lagi kata yang berakhiran -asi dan -if. Dan tiap kali sang kartini muda itu melontarkan kata-kata saktinya, para wisudawan dan tamu bergemuruh dan bertepuktangan. Yang tentu saja membuat sang kartini muda semakin besar kepala dan semakin menaikkan volume suaranya seakan nggak mau kalah dengan gemuruh yang didengarnya. Isi sambutannya mengenai mimpi-mimpi untuk menguasai ilmu pengetahuan dan penerapannya di masyarakat. Aku menang! Mungkin itu yang dipikirkannya.

Tapi...

Sayup-sayup dan lumayan sering kudengar, gemuruh yang berasal dari gerombolan wisudawan/i, bukan hanya tepuk tangan, tapi juga sebuah teriakan " YA UDAH MBAK, CEPAT TURUN"

Setelah selesai memberi sambutan, sang kartini muda turun podium dengan bangga dan hidung yang mengarah ke langit diiringi gemuruh.....

Kesanku cuma, kasihan mbaknya....

Dia pintar, tapi tidak pada tempatnya. Yang terjadi barusan hanya pembodohan, arogansi, autis dan narsisme (ikut-ikutan pake kata sakti). Dia tidak sadar kalau tidak semua yang wisuda pintar dan memahami kata-kata itu.

Begitu banyak orang pintar di negeri ini, demikian juga yang bodoh. Tidak terjadi perkembangan di negara ini, karena yang pintar gengsi menjadi bodoh dan yang bodoh pesimis dan rendah diri untuk jadi pintar. Menurutku, semua orang pintar pada porsinya dan sekaligus bodoh pada porsinya.

Aku tidak mau jadi pintar atau bodoh. Aku cuma mau jadi orang baik. Kalau semua orang baik pasti dunia bisa menjadi tempat yang lebih baik untuk hidup. Kepintaran dicatat di dalam sejarah dunia, tapi kebaikan dipatri selamanya di dalam hati setiap orang yang menerima kebaikan.

Aku sedang berarsitek untuk mencari arsitektur yang baik yang terpatri secara personal, tidak harus dicatat sejarah.....

hmmm.....

Jumat, Mei 16, 2008

nafsu


Kamis malam, di sebuah rumah makan di daerah renon, setelah selesai menyantap dengan brutal seekor ikan goreng sepanjang 30 cm (cukup gede untuk porsi makan satu orang), aku terlibat diskusi arsitektural (ilegal) dengan seorang teman tentang idealisme berarsitektur kantor masing-masing. Kebetulan aku bekerja di kantor yang aku sebut maksimalis, mengacu pada kantor teman saya yang minimalis. Di akhir pembicaraan terekam sebuah kalimat:

"bedanya maksimalis dan minimalis adalah, maksimalis mengumbar nafsu, sedangkan minimalis menahan nafsu"

Terlepas dari diskusi ilegal kami yang sulit dipertanggungjawabkan, otakku tergelitik dengan pertanyaan, kenapa kami bisa mengkotakkan arsitektur menjadi minimalis dan maksimalis. Apakah ada kategori-kategori yang harus dimiliki untuk mendapatkan kotaknya?

Apakah ada batas minimal untuk disebut maksimalis, dan sebaliknya apakah ada batas maksimal untuk disebut minimalis? Kalau batasnya sangat bias, berarti tidak ada sesuatu yang layak disebut maksimalis atau minimalis, yang ada hanya relatif maksimalis dan relatif minimalis.

Mungkin kedua kata itu memang dekat dengan nafsu, tergantung seberapa besar nafsunya, seberapa kuat menahan nafsu, apakah nafsunya hanya untuk satu hal atau banyak hal, nafsu dengan pikiran kotor atau bersih, liar atau tenang. Si nafsu memang keren, bisa menentukan jalan hidup seseorang.

Kalau dianalogikan sebuah jalan yang lurus, berarti kita bisa menemukan maksimalis yang minimalis atau minimalis yang agak maksimalis. Tapi kenyataannya jalan yang ada tidak lurus, sangat bercabang. Bahkan tidak jarang menemukan perempatan atau perduapuluhan atau perseratusan.

Astaga! Apakah pemikiranku ini sebuah gejala arsitekturisasi? Gawat!

Yah, aku baru ngisi bensin untuk bisa jalan di salah satu jalan itu. Semoga bannya tidak pecah di jalan atau terpaksa ganti ban. Modalnya cuma peta buta dan sepenggal informasi dari pak tua yang kutemukan di gerbang jalan yang berkata nanti masnya jalan lurus aja, trus mentok belok kiri, trus kanan, kiri, muter, nanya, beli peta, kiri, luruuuuuuuuuuuus aja. Nah kalo ketemu orang ya nanya orang itu"

Oke, saatnya distarter...

Brrrrruuuummmm!!!!!!

Kamis, Mei 15, 2008

romantisme gua



Aku hidup di jaman ketika arsitektur sedang puber, beranjak dewasa dan nakal selayaknya masa-masa pencarian jati diri anak sma. Senang coba ini-itu tanpa peduli resiko di masa tuanya, temperamen, berusaha tampil menarik untuk menggoda lawan jenis, dan sifat-sifat labil lainnya. Ya, memang arsitektur belum dewasa, entah makan waktu berapa lama untuk dewasa. Aku juga belum dewasa, bahkan tidak tahu definisi dewasa.


Ya sudahlah, nanti saja memikirkan masa depan. Paling tidak aku sudah melewati 24 tahun di bumi ini, sudah 24 tahun memori terekam di arsip otakku (mungkin ada yang sudah di masukin gudang atau sudah diberikan pemulung untuk didaur ulang), paling tidak yang sudah masuk arsip bisa dibaca ulang yang kata orang-orang disebut "bernostalgia", dan tersenyum-senyum sendiri....


Bagaimana dengan arsitektur, pastinya arsitektur juga punya arsip. Aku penasaran, apa isi arsip di masa-masa awal arsitektur. Pikiranku melayang-layang (mungkin si otak sedang mencari doraemon untuk meminjam mesin waktu). Dan pikiranku tiba di jaman purba, dimana homo sapiens mulai menemukan kebudayaan. Masa lalu dari semua sejarah bumi termasuk arsitektur dimana semua masih alami, utuh, perawan, lugu, sederhana, liar, tanpa batas dan indah..


Akhirnya kutemukan arsitektur paling primitif yaitu gua, entah itu bisa disebut arsitektur atau bukan. Namun jika menilik kemampuan manusia purba untuk mengenal ruang, dan kenyamanan relatif yang ditimbulkan dari ruang primitif itu, walaupun bukan manusia yang menciptakannya, maka untukku itu bisa disebut arsitektur, arsitektur oleh alam mungkin.


Sebuah gua, sebuah ruang yang menyatukan sekaligus mengisolasikan manusia dengan alam. Didalamnya manusia berinteraksi, beraktifitas, melindungi dan dilindungi, melayani dan dilayani tidak ada ruang yang memisahkan antar mereka.


Tak perlu ada perebutan hak tanah, semua tanah dan lansekapnya adalah milik manusia, dan manusia bebas menempatinya.


Tak ada saling menutupi pandangan dan mengklaim pemandangan untuk sendiri. Seluruh pemandangan yang nampak boleh dinikmati semua orang. Setiap hari ketika keluar dari gua, manusia disuguhkan karya arsitektur agung oleh ibu alam yang dinamis, hidup, bernafas, beregenerasi, bersuksesi, memperbanyak diri, menghidupi diri sendiri, mati, gugur, tumbuh, berubah warna, hangat, dan yang terpenting luar biasa indah dan menggugah jiwa (membayangkan keluar dari gua setelah bangun pagi).


Kuhirup udaranya sebanyak mungkin……….


Ah…. Si Doraemon sudah mengajak pulang


Kapan ya bisa mencoba tinggal di gua?

pohonku anakku



Satu waktu, aku nonton sebuah dorama jepang. Dalam sebuah episode diceritakan seorang bapak membuat cacat lemari kayu kesayangan sang istri, karena lemari itu hadiah pernikahan mereka. Sang bapak yang takut tidak memberitahukan istrinya kalau lemarinya cacat. Diam-diam dia ke hutan terus menanam sebatang pohon dengan kayu yang sama dengan kayu lemari istrinya. Setiap hari sang bapak merawat pohon itu tanpa diketahui istrinya.

20 tahun kemudian...

Sang bapak menghadiahi sang istri lemari baru dengan bentuk yang sama dengan lemari istrinya yang rusak dari kayu pohon yang ditanamnya. Sang istripun menangis melihat tekad yang kuat dari suaminya dan semakin jatuh cinta.

Pasca nonton...
Aku cuma sedikit merenung, jika saja, untuk setiap satu anak yang lahir ke bumi, orangtua menanam sebatang pohon yang nantinya bisa digunakan sang anak untuk membangun rumahnya, sedikit banyak bisa mengurangi beban bumi untuk memberikan perlindungan bagi kita. Dan tentu saja bisa menghijaukan bumi.

Tradisi satu anak satu pohon sudah ada di aceh, bedanya, kalau di aceh hanya sebagai simbol, dan pohon tersebut tidak boleh ditebang dengan alasan apapun.

Pernah baca dari blog tetangga juga, tentang ide satu anak satu pohon. Tapi sebagai manusia bodoh yang masih keras kepala mempelajari arsitektur, tiba-tiba terbersit, agaknya satu pohon untuk satu anak bisa dijadikan alternatif bahan material yang sustainable.

Baru sebuah angan memang, namun mungkin bisa menjadi angin segar di masa depan.

Ketika pohon menjadi sangat diidolakan manusia dan sudah terlalu banyak dan populasi manusia menurun, bisa dibalik, satu anak untuk satu pohon, jadi, setiap menanam satu pohon sang penanam wajib membuat anak. Ha ha ha ha....

Minggu, April 27, 2008

Teras Arsitektur Lansekap

"arsitek landscape tidak akan lebih terkenal dari arsitek hospitality, dan arsitek hospitality tidak akan lebih terkenal dari arsitek bangunan publik"

"ngapain masuk kantor landscape? sayang dong ilmu arsitekturnya"

"arsitek kok bikin patung, bikin ukiran, bikin pot bunga?"

"wah belajar nanam pohon dong?"

Kalimat-kalimat itu mengantarku untuk menjejakkan kaki ke halaman baru yang masih asing dan tidak begitu kuketahui dari bangku perkuliahan, yaitu arsitektur lansekap.


Memang di dunia keprofesian di indonesia, profesi arsitek lansekap masih dikonotasikan dengan tukang bikin kebun. Masih dinomortigakan (mengacu pada pernyataan pertama). Anggapan bahwa arsitek hospitality itu desainnya mahal, karena semua serba eksklusif, apalagi arsitek lansekap, buang-buang duit aja bayar arsitek lansekap, pake satu arsitek aja udah cukup, trus tanam pohon sendiri pake tukang taman, semakin mengkukuhkan predikat nomor tiga arsitektur lansekap.

Ya memang tidak semua yang mengatakan seperti itu, tapi tidak sepenuhnya salah juga. Bahkan sampe sekarang anggapan itu masih ada di pikiranku. Dan memang kenyataanya kerjaanku banyak bikin patung, ukiran kolom, artwork, pot bunga, kolam pancuran dll, yang kalau dibandingkan dengan idealisme arsitektur saat bangku kuliah terasa jauh sekali dan terkesan main-main.

Dalam sebuah proyek, lansekap selalu masuk belakangan ketika desain dari arsitek utama sudah jadi. Dari posisi ini arsitek lansekap cuma jadi penonton untuk bangunan karya arsitek lain. Dan 'hanya' mengisi kekosongan yang terjadi dalam desain sang arsitek. Kalau menuruti ego sebagai arsitek yang ingin mendesain bangunannya bukan tamannya, jelas lansekap tidak akan bisa mengakomodasinya.

Sebaliknya menurutku dari posisi ini justru dunia arsitektur bisa terlihat lebih luas dan lebih bebas beridealisme. Lansekap bisa menjadi sebuah bahasa kritik arsitektur yang ekspresif akan bangunan yang diisinya. Ketika maestro seperti gehry atau zaha hadid mendesain sebuah bangunan yang cenderung 'kering', akan menjadi beban untuk arsitek lansekap untuk menyeimbangkan, walaupun secara tidak langsung, untuk menambah hijau di tempat lain.

Berusaha memahami desain yang sudah ada dan mampu mengisi kekosongan yang dibuat arsitek akan memperluas pengetahuan arsitektur dan kemampuan positioning dalam dunia arsitektur.

Ketika sebuah karya dibuat angkuh, adalah lansekap yang memanusiakannya. Ketika karya menjadi kaku lansekaplah yang melembutkannya. Imajinasi akan ruang sangat dibutuhkan dalam menciptakan lansekap yang sinergis dan manusiawi.

Tidak melulu mengurusi tanaman, justru lansekap menjadi jembatan antara lingkungan buatan dengan lingkungan alami. Bahkan bentuk2 eksploratif dan eksperimental bisa dituangkan dalam lansekap. Sense of art, intuisi, lebih banyak berperan dibanding rasionalitas.

Menarik melihat sebuah karya yang kaya dalam dialog antara lansekap dan building.

Namun pada akhirnya semua itu relatif bergantung pada konteks, dan titik acuan. Itu hanya sedikit yang kuketahui dari sebulan bergulat dengan dunia lansekap.

(dari posting saya di milis arsiduaribudua@yahoogroups.com, sebuah komunitas arsitek UGM angkatan 2002 yang sedang berjuang bersama)