Minggu, November 30, 2008

Cacing

Pernah bermain game Spore Creatures? Sebuah permainan yang cukup populer tentang mengendalikan sebuah makhluk hidup. Pada awal permainan karakter yang diberikan hanya berupa cacing dengan mata besar, seiring permainan berkembang, sang cacing menemukan bagian tubuh yang dapat dipasang pada badannya. Setiap anggota tubuh memiliki kelebihannya masing-masing, sayap untuk terbang, kaki untuk daerah gurun dan untuk berjalan diatas lahar dll. Walaupun anggota tubuh berubah-ubah, dan kita bisa mengkreasikan bentuk makhluk hidup sesuka kita, tapi tetap ada dna yang sama di dalam tubuh makhluk hidup itu, tetap ada otak yang sama yang mengendalikan tubuh makhluk hidup itu, yaitu aku yang sedang bermain game ini di nintendo ds semata wayangku. Yup, sudah beberapa bulan ini, satu-satunya teman pengantar tidur, dan penghilang stress dari kehidupan 'luar biasa' kantorku hanya nintendo ds berwarna hitamku ini.

Sama seperti permainan spore creatures, sekarang aku juga hanya berupa cacing bermata besar, yang takjub dengan kemolekan tubuh arsitektur, takjub dengan drama-drama kehidupan arsitek bintang di luar sana, takjub dengan pandangan orang akan profesi arsitek. Masih berada di awal permainan dengan tujuan ingin terbang, ingin melompat, ingin berlari, ingin berdiri, ingin punya tangan untuk membuat karya arsitektur yang indah. Dan beberapa hari belakangan pikiranku memang sedang terusik semenjak kedatangan seorang arsitek bintang Sonny Sutanto di kantorku yang bercerita tentang bagaimana membuat biro sendiri. Yup! Memiliki biro sendiri, tentu saja menjadi tujuan utama dari hampir semua lulusan arsitektur.

Sebuah mimpi yang sangat besar, dan sangat panjang. Butuh keteguhan hati dan cinta untuk bisa mencapainya. Banyak jalan menuju kesana. Ada cacing yang ketika memiliki tangan dan kaki pertama, langsung berjuang supaya tangan dan kakinya yang kecil cukup kuat untuk mendaki gunung. Ada cacing yang menunggu lama untuk menemukan sayap agar dia bisa terbang ke atas gunung. Ada cacing yang beruntung mendapatkan kaki yang sangat kuat untuk melompat ke atas gunung. Ada yang sepanjang perjalanan menuju puncak terus berganti bagian tubuh, mencari yang terbaik. Bahkan ada cacing yang beruntung di bawa elang terbang ke atas tanpa perlu bagian tubuh.

Kesemua analogi diatas cuma mengarahkanku pada satu kesimpulan, hampir tidak mungkin menuju puncak tanpa memiliki sebuah tim yang solid. Sebuah tim dengan keahlian spesifik dan berbeda masing-masing. Keanekaragaman karakter dengan satu visi. Seorang sonny sutanto mengatakan dalam satu biro harus memiliki 3 karakter untuk jadi besar, the charming guy, the artist, dan the accountant.

I guess i rather choose the charming artist. Ha ha ha

Yang jelas, aku masih butuh banyak bagian tubuh untuk menjadi the charming artist, dengan DNAku sendiri, dengan otakku sendiri. It's still a long way to go. Saat ini, sang cacing bermata besar sedang mengakrabi kesunyian, menunggu sambil belajar memahami dunia, bersuka dan berduka dalam kubangan, menikmati ranting-ranting semak yang sangat nikmat dan nyaman.

So what do you want to be? A tail of a dragon, or a head of a chicken?

Minggu, November 23, 2008

Warna


Color or colour[1] is the visual perceptual property corresponding in humans to the categories calledredyellowblue and others. Color derives from the spectrum of light (distribution of light energy versus wavelength) interacting in the eye with the spectral sensitivities of the light receptors. Color categories and physical specifications of color are also associated with objects, materials, light sources, etc., based on their physical properties such as light absorption, reflection, or emission spectra. (wikipedia)

Hari ini, hari minggu pagi, lagi-lagi dilalui dengan rutinitas ngantor. Sekarang, berlibur saat weekend menjadi suatu yang sangat eksklusif. Setelah 'ngisi absen' di gereja, langsung aja motorku tak pacu menuju kantor di balik semak. Jalan yang tiap hari dilalui, telah menjadi suatu 'kebaikan' dimana kalau 'kebaikan' itu dilanggar akan menimbulkan perasaan bersalah, dosa. 

Flashback ke masa kecil, dimana aktivitas sehari-hari diisi dengan bermain perang-perangan di hutan, menjelajah mencari danau, bermain petak umpet, hidup adalah hal yang penuh dengan kedinamisan, penuh dengan warna. Dulu saat kecil aku diberi banyak warna, sekarang aku telah memilih warna, paling tidak warna yang kupilih harus kupertahankan dan kubuat indah, yaitu dengan mempelajari warna orang lain. Yup, pelajari bagaimana orang lain memperlakukan warna mereka.

Komputer kunyalakan...
Ngenet dulu, trus ngecek blogku yang belakangan cukup jarang diupdate. Baca beberapa tulisan dan comment, sampai aku sadar bahwa 2 tulisan terakhir agak berat, penuh teori. Waduh, kesambet apa nih? Membaca alur blogku sendiri membuatku menyadari warnaku tidak sepenuhnya monokrom, ada warna dalam perbedaan tema tulisanku, dalam pemikiranku, terkadang warna pencarian, terkadang warna perenungan, terkadang warna pembelajaran.

Mendengar bahwa teman-temanku sudah eksis dimana-mana, ada yang jadi dosen, ada yang sudah punya biro sendiri, ada yang keluar negeri, ada yang cemas bagaimana caranya supaya eksis, ada yang belum punya kerjaan, ada yang nyasar keluar arsitektur, membuatku cuma berguman, 'duniaku penuh warna dengan berada diantara warna-warna lain'.

Aku tidak perlu cemas, saat ini aku sedang bergerilya, bergerak di bawah tanah, menyembunyikan eksistensi, merendahkan diri, mengakrabi kesunyian, untuk mempelajari banyak hal tentang warna yang kupilih, belajar untuk meminimalkan cacat warna, belajar untuk memadukan warna, belajar untuk mempertanggungjawabkan warna, dan belajar untuk menikmati warna. Menunggu momentum untuk meledakkan warna, membuat lukisan. Tidak perlu buru-buru....

Enjoy your color...

Kamis, November 20, 2008

intimidated and rebellion space



"Revolution is not a dinner party, nor an essay, nor a painting, nor a piece of embroidery; it cannot be advanced softly, gradually, carefully, considerately, respectfully, politely, plainly, and modestly. A revolution is an insurrection, an act of violence by which one class overthrows another". Mao Zedong

Akhirnya aku punya sejumput waktu, untuk sedikit berceloteh tentang kegelisahan arsitekturalku, setelah dalam kurun waktu yang cukup lama terus dihujani si garis mati (deadline) yang sangat fenomenal di kantorku.

Beberapa waktu yang lalu aku lagi-lagi terlibat dalam diskursus arsitektur ilegal dengan sebuah rekan. Walaupun sebenarnya diskursus ilegal tersebut berjalan relatif satu arah, karena kebanyakan aku hanya mendengar dan sedikit menimpali. Satu kutipan yang masih terngiang sampai sekarang adalah " pembaharuan tidak akan terjadi tanpa revolusi". Revolusi, sebuah kata yang menampilkan disequilibrium,  pemberontakan, ledakan emosional dan kultural, sebuah perubahan. Masih berkaitan dengan kata revolusi, beberapa pekan belakangan, dunia sedang dilanda demam obama, satu hal yang menarik dari sosok fenomenal ini ada janji yang dia kemukakan untuk memenangkan pemilihan presiden amerika serikat dengan slogan " change : we can believe in". Sedikit penggalan pidatonya yang cukup membakar:

“One voice can change a room. And if a voice can change a room, it can change a city. And if it can change a city, it can change a state. And if it can change a state, it can change a nation. And if it can change a nation, it can change the world.” (obama, 2008)

Sebuah janji pembaharuan dengan pidato yang menggunakan abstraksi patriotik yang menurutku mirip dengan pendekatan teori butterfly effect. Sebuah teori dengan analogi bahwa kepakan seekor kupu-kupu bisa menjadi badai di belahan dunia lain. Teori yang lebih rumit dari analoginya. Apakah ini pertanda revolusi? Bisakah seorang obama benar-benar membawa perubahan atau hanya differensiasi?

Ha ha ha..... Nggak, aku nggak akan berbicara politik lebih jauh dari hal tadi, atau aku juga sedang tidak mengajak orang-orang untuk menabuh genderang revolusi. Semua hal tadi hanya pemikiran-pemikiran yang mengantarkanku kembali pada pertanyaan ruang, pada arsitektur. Ruang sebagai sebuah organisme yang punya rasa sensitif. Sebuah bagian dari gaia. Berbicara mengenai ruang yang sensitif, sebuah pertanyaan arsitektural oleh sang superstar bernard tschumi terngiang di kepalaku: apakah ruang sebagai material mempunyai batas? apakah ada ruang diluar batas tersebut? kalau tidak ada ruang, apakah ini berarti sesuatu dibentangkan secara tak terbatas?

Tenang, pertanyaan tersebut memang bisa menjadi diskursus yang panjang dengan level tinggi, dan aku belum sampai kesitu. Dari berbagai kutipan-kutipan dan analogi-analogi diatas, hanya untuk membawaku kepada sebuah kritik akan sebuah keadaan ruang yang unik. Ruang yang diberikan batas secara konteks dan konten untuk menjadi beda, untuk menjadi tumbal, untuk menjadi ruang pembenaran. Bayangkan sebuah ruang yang dituntut untuk menjadi simbol, untuk menjadi menjadi benar dalam sebuah konteks yang sudah terlanjur memperkosa konteks kawasan dan juga memperkosa konsep ruang kompleks itu sendiri. Ruang pembenaran, ruang yang dipaksakan berbagai macam konten untuk menjadi superhero. Akan terjadi jika ruang tersebut merupakan ruang yang penurut. Namun sebagai sebuah bagian dari gaia, ruang juga mempunyai kesensitifan terhadap intimidasi konteks dan konten tersebut, punya keseimbangan di dalam ruang dan punya batasan dalam kesensitifannya. Jika sudah melebihi kemampuan ruang, maka yang terjadi adalah pemberontakan ruang. Terjadi penolakan batas, penghancuran konten, pelecehan struktur, pencorengan muka konteks, penamparan konsep. Ruang kecil yang dihimpit dan diintimidasi secara berlebihan tentu saja ingin bersuara untuk menyampaikan ketidaknyamanannya, kegelisahannya.

Dalam kasus seperti ini, ruang memiliki batas relatif, batasnya adalah ruang lain. Dan ruang selalu bereaksi terhadap batasnya tergantung intimidasi yang diperoleh. Yup! Ruang bisa memberontak, aku nggak berbicara mengenai bentuk, karena pemberontakan bentuk bisa diacuhkan, tapi untuk bisa menampar, diperlukan lebih dari itu.

Apakah ini sebuah bisa menjadi sebuah kepakan kupu-kupu yang bisa menimbulkan badai ruang? Apakah usaha pemberontakan ruang tersebut dapat berubah menjadi revolusi dan membawa ke pembaharuan?

Change, we can believe in....
:-)