Jumat, Januari 23, 2009

Cheers...!!!

Pagi hari, setelah aku siap untuk berangkat kerja, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Sebuah buku yang belum pernah kusentuh sejak berada di dalam rak bukuku. Kuraih buku itu, kemudian kubuka beberapa lembar pertama, sampai kepada sebuah halaman...

Dear mr. Arief
May your time with BDS be happy, healthy and fun
cheers
Bill Bensley

Begitu kata-kata mutiara dari pak Bill saat aku meminta tandatangannya di buku barunya "Paradise by Design", sebuah buku portofolio yang berisi masterpiece dari sang master landscape yang kebetulan juga sebagai mahaguru di kantorku ini. Kata-kata sederhana yang membentuk perspektif baru bagiku dalam memandang arsitektur, bahkan dalam memandang hidupku yang sarat ketidakpastian dan kesementaraan.

Happy. Untuk kebahagiaan dalam mendesain. Untuk keoptimisan. Untuk semangat

Healthy. Untuk keseimbangan antara tubuh dan otak. Untuk mengeluarkan seluruh potensi dengan maksimal.

Fun. Untuk bermain dengan imajinasi. Untuk bersenang-senang. Untuk kekompakan dalam tim.

Sinergi ketiganya menghasilkan aura positif yang baik secara sadar maupun tidak tertular dalam desain. Yang membangkitkan aura positif penikmat ruang melalui pesan transeden dalam desain.

It's just the way to make a better place.

...

Membongkar kembali folder-folder kerjaanku di kantor. Untuk mencari jejak aura positif dalam desainku. Akhirnya aku menemukan satu sketsa waterspout sculpture di sebuah project spa di nusa dua. Desain sederhana. Hanya sebuah sculpture kepala dengan waterspout dari mulut.

Hanya ingin berbagi aura positif kepada penikmat ruang. Berdialog dengan subjek arsitektur dalam kejenakaan. Dalam penghiburan. Dalam sebuah pesan...

Cheers....

Jumat, Januari 16, 2009

Trinity


Beberapa waktu yang lalu, seorang rekan mengatakan sebuah kalimat yang sampai saat ini terngiang di kepalaku.

"Itu kan urusan arsitek! Kita urusin interior aja!"

Ya. Memang saat itu aku sedang mengerjakan project dalam koridor desain interior untuk sebuah project di mumbai. Kalimat tersebut memang tidak salah dalam sebuah koridor profesionalitas, namun bagiku kalimat tersebut terasa begitu mengganjal. Mengapa terjadi pengkotakan dalam arsitektur. Menurutku, entah itu desain lansekap, bangunan ataupun interior, mereka berada dalam satu kaki menjejak di tanah yang sama. Tiga-tiganya tidak terpisah. Trinity, tiga dalam satu, begitu kata seorang rekan.

Namun sering terjadi seorang arsitek begitu gusar saat desainnya di'seruduk' desainer interior supaya desainnya masuk. Demikian juga sebaliknya. Sebuah project menjadi mendan perang bagi ketiganya. Saling beradu ego. Ingin terlihat paling menonjol.

Ego kerapkali mengaburkan idealisme....

Kalau arsitektur bertujuan untuk hidup yang lebih baik, seharusnya ketiganya berpegangan tangan, berdialog, bersinergi dalam satu nyawa, saling melengkapi.

Sebuah hal yang realistis ataukah utopis?

Mari berpegangan tangan...

Bahasa Hujan

Kebun Sanur, 19:30 WITA
Keheningan kantor bersama dinginnya udara malam ini semakin membuatku malas untuk beranjak dari kursi kantor. Sebagian besar rekan kantorku sudah keluar untuk makan dan pulang. Di ruang gajah tinggal aku dan seorang senior. Mungkin beberapa saat lagi saat kemalasan mulai berkurang dan perut mulai keroncongan kita akan mengikuti rekan yang lain untuk beranjak meninggalkan kantor ini menuju ruang transisi dengan udara dinginnya. 

Ya. Ruang transisi. Begitu aku menyebut ruang di antara kantor dan kos-kosanku. Karena setiap hari, ruang itu hanya menjadi ruang yang mengantarkan aku ke kantor. Ruang antara yang sangat dinamis, kadang ramai, kadang sepi, kadang gelap, kadang terang, kadang panas, kadang dingin. Sangat relatif. Dan malam ini ruang transisi sedang dalam status dingin.

...

Beberapa hari belakangan, sepertinya langit tidak begitu ramah pada bumi dan manusia. Tak ada hari yang absen dari guyuran hujan yang ditumpahkan dari langit. Ya. Bukan lagi mengucur, tapi tumpah! Daerah renon yang menurutku cukup aman dari banjir saja bisa tergenang air setinggi 50 sentian. Bahkan ada seorang teman yang libur karena kantornya ikut tergenang!

Setiap hari, hanya bisa merinding ketika melihat melihat ke luar kaca jendela dari dalam kantor. Merinding membayangkan rasanya berada di luar sana. Hujan deras disertai angin yang cukup kuat untuk menggoyangkan sebatang pohon yang selama ini terlihat begitu tegar. Mungkin langit memang sedang kesal pada manusia yang mulai tidak menghargai alam.

Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan klasik (menurutku) yang selalu menjadi bahan cercaan dosen ketika setiap akhir semester seorang mahasiswa mempresentasikan desainnya.

"Ini kalo mau kesini pas hujan bagaimana? Gak ada atapnya gini"

Dulu aku hanya bisa garuk-garuk kepala dengan tersenyum pahit. Jawaban yang menurutku cukup masuk akal saat ini adalah:

"Ya basah pak"

Ya...

Basah...

Alam hadir lebih dahulu daripada manusia. Hujan yang merupakan karya agung dari langit, dapat dijadikan teman atau lawan. Ada saatnya kita diam hanya untuk menikmati karya agung dari langit tersebut. 

Alam merupakan sumber pengalaman yang luar biasa yang selalu berusaha menyapa anak-anaknya. Ada saatnya bersentuhan dengan air, berlari melewatinya dengan payung, atau sengaja menerobos dengan kepala basah menghasilkan sebuah pengalaman yang berbeda daripada melewatinya dengan lantai dan atap yang nyaman. Terdapat kejujuran dan kenaifan dalam pengalaman itu. Ada yang tertawa setelah menerobos hujan karena dalam beberapa langkah lari tersebut alam menyentuh memori masa anak-anaknya.

Hanya sebuah justifikasi yang relatif.

Lebih banyak alasan menurut ego manusia untuk menyangkalnya.

Tapi satu yang kupegang, bahwa alam ingin menyentuh kita semua dalam berbagai cara. Tergantung kesensitifan sang arsitek untuk menerjemahkan bahasa alam tersebut sebagai teman dalam desain. Agar sentuhan tersebut sampai kepada penikmat arsitektur.

Seperti kata Pak Joseph Prijotomo " Arsitektur nusantara adalah rumah di dalam kebun. Bukan kebun di dalam rumah"

Kebun Sanur, 20:00 WITA
Kantor telah sepi. Tinggal aku sendiri, rekan yang tadi menemani sudah pulang lebih dulu. Mungkin sudah saatnya aku juga ikut beranjak untuk menikmati ruang transisi di luar sana yang pastinya masih dingin. Menyapa alam, menyelami bahasanya....

Sabtu, Januari 10, 2009

The Rat Chronicle


Yang pernah berkuliah di arsitektur pasti pernah merasa terusik mendengar nama derrida. Siapa orang ini, sehingga panggung arsitektur dunia tergoncang. Kemapanan, kestabilan bergerak menuju ketidakstabilan. Requestioning terjadi dimana-mana. Pengetahuan yang dibangun dalam hitungan puluhan tahun, runtuh.

Tentang petanda dan penanda...

Tentang jejak yang muncul lebih dahulu daripada keberadaan...

Aku tidak akan membahas lebih lanjut, karena, banyak yang lebih pakar dalam hal ini. Kelebatan kata-kata tadi muncul karena sebuah drama yang baru saja terjadi. Sebuah anekdot barangkali. Kisahnya seperti ini....

Januari awal...
Aku membuka pintu taksi bersama seorang rekan dari bandara ngurah rai. Dengan barang beberapa pikul kita menuju kamar kosku. Aku hendak mengambil motorku, karena aku berjanji mengantarkan rekanku ini ke kosnya. Yup! Kita patungan Taksi dalam rangka mengirit. He he he....

Sesampainya di kamar. Kunci kumasukan. Cklek! Handle diputar. Begitu masuk kamar. Aku terkejut dengan banyak gumpalan-gumpalan hitam kecil di lantai. Kotoran tikus!!! 

...

Setelah mengantarkan temanku tersebut. Aku sampai didepan pintu kamar kosku dengan mengeluh. Fiuh! Still have a lot of things to do. Yup! Akhirnya aku membersihkan setiap sudut kamar dengan sapu. Dan alangkah terkejutnya aku, karena gumpalan hitam itu berserakan lebih banyak di bawah kasur, di balik lemari dan tempat-tempat lain yang tersembunyi. Dan aku tidak menemukan tikusnya. Damn! Pekerjaan menyapu yang sering kuhidari karena aku alergi debu akhirnya harus dijalani. Dan akibatnya, sampai saat ini aku masih flu akibat debu tersebut.

Argh... Kurebahkan badan kurusku ke springbed queen size tanpa sprei yang sudah terlihat agak tua. "Akhirnya selesai. Bisa tidur dengan tenang. Toh tikusnya tidak ada..."

....

Keesokan paginya, ternyata gumpalan itu muncul lagi. Damn! Tikus sial!

Pulang kerja, aku langsung menuju swalayan terdekat untuk membeli lem tikus! Tikus ini harus dibasmi, pikirku.

Sesampainya di kos, selembar karton kusiapkan sebagai alas untuk memasang "perangkap maut", tak lupa aku membeli kacang-kacangan yang menurutku tikus sangat suka sebagai umpan ditengah-tengah perangkap itu. Dan akupun tidur dengan tenang, karena memang yakin perangkap itu akan berhasil.

....

Keesokan paginya. Gatcha!!! Perangkap berpindah tempat. Seekor tikus menggeliat menempel pada karton. Tidak berdaya. Pasrah. Mission accomplished!!!

....

Dalam anekdot ini, aku berpikir, kotoran hadir sebagai jejak. Jejak yang menandakan keberadaan sumbernya yaitu tikus. Walaupun kotoran itu bukan tikus, tapi keberadaan tikus yang dibawa dalam kotoran itu sangat jelas. Jejak itu datang terlebih dahulu, kemudian sumbernya muncul. Hmmm... Mungkin derrida pernah terinspirasi tikus?

...

Keberadaan arsitektur yang selalu menonjolkan keberadaannya semakin menimbulkan kejenuhan. Paham materialisme yang dibawa bangsa barat memperkecil kemungkinan yang tidak ada untuk muncul. Arsitektur bukan hanya tentang yang ada, namun juga tentang yang tidak ada. Tubuh dan nyawa. Masa kini, dan masa bukan kini (masa depan dan masa lalu). Bahkan seorang eisenman sering menggunakan bangunannya yang ada sebagai jejak, sebagai petanda untuk sebuah keberadaan lain yang juga merupakan sebuah petanda.

Hmmm...

Mari membuat jejak...

Selasa, Januari 06, 2009

My Polar Express


Menutup tahun 2008 dilalui oleh beberapa kejadian yang membawaku kedalam semangat baru untuk melalui tahun yang baru. 

[1]
Akhir tahun 2008 ditutup dengan batalnya aku dan teman-temanku untuk meneruskan kompetisi yang sudah kita rintis dari beberapa bulan yang lalu, akibat pengerjaan yang tertunda karena kesibukan di kantor masing-masing sebelum libur, dan tidak relanya melepaskan waktu libur yang sangat berharga untuk berarsitektur. Libur yang sangat dinantikan dari awal tahun untuk menjadi bodoh, untuk berhura-hura, untuk lepas dari tanggungjawab, untuk menikmati hasil kerja keras, untuk bersama orang-orang tersayang, untuk beristirahat. Kejadian yang juga terjadi pada seorang teman di negeri seberang. Jadi mengerti kenapa beberapa rekan di kantorku selalu mati langkah dalam hal kompetisi ketika bertabrakan dengan waktu kerja dan waktu pribadi. Tapi aku tidak menyesalinya.

Kejadian ini membawa pengertian lebih mendalam tentang waktu. Waktu yang selalu berjalan linear. Tak pernah mau berhenti atau balik. Selalu ada rasa syukur dan menyesal ketika membuat pilihan yang didasari waktu.

Arsitektur juga tentang pilihan. Tentang bersyukur dan menyesal. Tentang berjalan melewati waktu. Tentang tanggung jawab, sekaligus tentang kesenangan. 

[2]
Akhir tahun 2008 ditutup dengan batalnya aku memesan buku-buku arsitektur kategori "bintang" pada seorang teman di negeri seberang. Hanya karena sebuah buku yang kubeli di toko buku Toga Mas Jogja. Buku yang mungkin bagi para arsitek-arsitek dunia hanya sekelas "lampu petromax" ini ajaibnya mampu menerangi sekitarnya dengan kehangatan dalam keterbatasan cahaya. Buku berjudul "arsitektur untuk kemanusiaan: sebuah teropong visual culture atas karya-karya eko prawoto"....

Dalam keinginan mengejar bintang, buku tersebut mencuri perhatianku tentang kesederhanaan dari seorang arsitek bernama Eko Prawoto yang notabene murid maestro Romo Mangunwijaya dan Rem Koolhass. 

Mengingatkanku pada perjalanan 2 tahun bersama guru arsitektur pertamaku Pak Pradipto, yang sama seperti Eko Prawoto, adalah juga merupakan murid Romo Mangunwijaya. Karya-karya mereka hampir mirip dalam artikulasi yang sederhana sekaligus tersimpan kekayaan dalam arsitektur yang disebut "kampungan".

Dari buku pak Eko dan dari berguru pada pak Dip aku belajar, bahwa Kreatifitas selalu timbul dari keterbatasan, dan jika kita jeli, masyarakat golongan bawah yang diberi banyak keterbatasan materi ternyata memiliki kekayaan ide yang luar biasa. Seringkali, solusi kreatif sebuah desain bukan dari orang yang berpangkat arsitek, tapi dari tukang, orang yang sangat dekat dengan arsitektur, yang menurut kaum atas digolongkan sebagai orang-orang pinggiran yang hampir tiap hari bergelut pada  keterbatasan.

Arsitektur hadir dalam keterbatasan, bukan keberlimpahan. Arsitektur yang menyangkut seluruh tubuh, alam dan budaya bukan hanya mata. Membentuk 'place' bukan hanya 'space'. Arsitektur yang bernyawa kata seorang teman. 

....


Dari 2 kejadian tersebut, aku belajar banyak soal bersikap dalam arsitektur. 2 kejadian yang bermula dari kata "batal", kata yang negatif. Tapi justru dari kata negatif tersebut, muncul pengetahuan yang positif. Ying dan yang selalu berdamping.

Ada lagi...

Kejadian terakhir adalah saat menonton film "polar express" bersama si orang penting. Terdapat quote yang membekas sampai saat ini. Bikin semangat untuk tetap melangkah. Dan semoga quote ini bermanfaat bagi kalian-kalian yang ragu untuk melangkah...

"... one things about the train. It doesn't matter where they're going, what matter is deciding to get on..."
(The conductor-Polar express)

Selamat Datang 2009...