Minggu, Mei 25, 2008

orang baik

Beberapa waktu yang lalu, aku mengikuti sebuah acara wisuda di UGM. Yang wisuda tentu saja "orang penting" makanya aku datang sebagai pendamping wisuda. Setelah masuk ke ruang undangan dengan bantuan "orang dalam". Akhirnya aku menemukan sebuah tempat duduk yang stategis yang bisa dengan leluasa memonitor "orang penting" yang sedang wisuda.

Tak disangka ternyata aku duduk di belakang salah satu tokoh politik terkenal Indonesia, yaitu pak Amin Rais! Kesan yang timbul bukan "Ye ye, aku ketemu orang terkenal!", tapi : "Oalah orang terkenal di depanku ternyata pendek!" Ha ha ha ha....
Maaf pak,...

Tentu saja, seperti acara wisuda yang sudah pernah kulewati, acaranya sangat membosankan. Aku bahkan sempat nyaris tertidur beberapa kali, kalau saja yang duduk di belakangku bukan orangtua si "orang penting" tersebut. He he he....

Kemudian tibalah di suatu acara, salah satu wakil wisudawan untuk memberi sambutan. Seorang kartini muda, yang dengan bangga melangkah ke arah podium.

Setelah beberapa patah kata pembukaan konservatif dengan embel-embel yang saya cintai, hormati, dan banggakan, sang kartini muda memulai sambutannya mewakili wisudawan/i. Sebagai seorang sarjana sastra Indonesia, kata-kata yang mengalir begitu indah dan berkelas, istilah-istilah yang bahkan sangat jarang ditemukan di koran seperti dehumanisasi, liberalisasi, aktif-preventif dan banyak lagi kata yang berakhiran -asi dan -if. Dan tiap kali sang kartini muda itu melontarkan kata-kata saktinya, para wisudawan dan tamu bergemuruh dan bertepuktangan. Yang tentu saja membuat sang kartini muda semakin besar kepala dan semakin menaikkan volume suaranya seakan nggak mau kalah dengan gemuruh yang didengarnya. Isi sambutannya mengenai mimpi-mimpi untuk menguasai ilmu pengetahuan dan penerapannya di masyarakat. Aku menang! Mungkin itu yang dipikirkannya.

Tapi...

Sayup-sayup dan lumayan sering kudengar, gemuruh yang berasal dari gerombolan wisudawan/i, bukan hanya tepuk tangan, tapi juga sebuah teriakan " YA UDAH MBAK, CEPAT TURUN"

Setelah selesai memberi sambutan, sang kartini muda turun podium dengan bangga dan hidung yang mengarah ke langit diiringi gemuruh.....

Kesanku cuma, kasihan mbaknya....

Dia pintar, tapi tidak pada tempatnya. Yang terjadi barusan hanya pembodohan, arogansi, autis dan narsisme (ikut-ikutan pake kata sakti). Dia tidak sadar kalau tidak semua yang wisuda pintar dan memahami kata-kata itu.

Begitu banyak orang pintar di negeri ini, demikian juga yang bodoh. Tidak terjadi perkembangan di negara ini, karena yang pintar gengsi menjadi bodoh dan yang bodoh pesimis dan rendah diri untuk jadi pintar. Menurutku, semua orang pintar pada porsinya dan sekaligus bodoh pada porsinya.

Aku tidak mau jadi pintar atau bodoh. Aku cuma mau jadi orang baik. Kalau semua orang baik pasti dunia bisa menjadi tempat yang lebih baik untuk hidup. Kepintaran dicatat di dalam sejarah dunia, tapi kebaikan dipatri selamanya di dalam hati setiap orang yang menerima kebaikan.

Aku sedang berarsitek untuk mencari arsitektur yang baik yang terpatri secara personal, tidak harus dicatat sejarah.....

hmmm.....

Jumat, Mei 16, 2008

nafsu


Kamis malam, di sebuah rumah makan di daerah renon, setelah selesai menyantap dengan brutal seekor ikan goreng sepanjang 30 cm (cukup gede untuk porsi makan satu orang), aku terlibat diskusi arsitektural (ilegal) dengan seorang teman tentang idealisme berarsitektur kantor masing-masing. Kebetulan aku bekerja di kantor yang aku sebut maksimalis, mengacu pada kantor teman saya yang minimalis. Di akhir pembicaraan terekam sebuah kalimat:

"bedanya maksimalis dan minimalis adalah, maksimalis mengumbar nafsu, sedangkan minimalis menahan nafsu"

Terlepas dari diskusi ilegal kami yang sulit dipertanggungjawabkan, otakku tergelitik dengan pertanyaan, kenapa kami bisa mengkotakkan arsitektur menjadi minimalis dan maksimalis. Apakah ada kategori-kategori yang harus dimiliki untuk mendapatkan kotaknya?

Apakah ada batas minimal untuk disebut maksimalis, dan sebaliknya apakah ada batas maksimal untuk disebut minimalis? Kalau batasnya sangat bias, berarti tidak ada sesuatu yang layak disebut maksimalis atau minimalis, yang ada hanya relatif maksimalis dan relatif minimalis.

Mungkin kedua kata itu memang dekat dengan nafsu, tergantung seberapa besar nafsunya, seberapa kuat menahan nafsu, apakah nafsunya hanya untuk satu hal atau banyak hal, nafsu dengan pikiran kotor atau bersih, liar atau tenang. Si nafsu memang keren, bisa menentukan jalan hidup seseorang.

Kalau dianalogikan sebuah jalan yang lurus, berarti kita bisa menemukan maksimalis yang minimalis atau minimalis yang agak maksimalis. Tapi kenyataannya jalan yang ada tidak lurus, sangat bercabang. Bahkan tidak jarang menemukan perempatan atau perduapuluhan atau perseratusan.

Astaga! Apakah pemikiranku ini sebuah gejala arsitekturisasi? Gawat!

Yah, aku baru ngisi bensin untuk bisa jalan di salah satu jalan itu. Semoga bannya tidak pecah di jalan atau terpaksa ganti ban. Modalnya cuma peta buta dan sepenggal informasi dari pak tua yang kutemukan di gerbang jalan yang berkata nanti masnya jalan lurus aja, trus mentok belok kiri, trus kanan, kiri, muter, nanya, beli peta, kiri, luruuuuuuuuuuuus aja. Nah kalo ketemu orang ya nanya orang itu"

Oke, saatnya distarter...

Brrrrruuuummmm!!!!!!

Kamis, Mei 15, 2008

romantisme gua



Aku hidup di jaman ketika arsitektur sedang puber, beranjak dewasa dan nakal selayaknya masa-masa pencarian jati diri anak sma. Senang coba ini-itu tanpa peduli resiko di masa tuanya, temperamen, berusaha tampil menarik untuk menggoda lawan jenis, dan sifat-sifat labil lainnya. Ya, memang arsitektur belum dewasa, entah makan waktu berapa lama untuk dewasa. Aku juga belum dewasa, bahkan tidak tahu definisi dewasa.


Ya sudahlah, nanti saja memikirkan masa depan. Paling tidak aku sudah melewati 24 tahun di bumi ini, sudah 24 tahun memori terekam di arsip otakku (mungkin ada yang sudah di masukin gudang atau sudah diberikan pemulung untuk didaur ulang), paling tidak yang sudah masuk arsip bisa dibaca ulang yang kata orang-orang disebut "bernostalgia", dan tersenyum-senyum sendiri....


Bagaimana dengan arsitektur, pastinya arsitektur juga punya arsip. Aku penasaran, apa isi arsip di masa-masa awal arsitektur. Pikiranku melayang-layang (mungkin si otak sedang mencari doraemon untuk meminjam mesin waktu). Dan pikiranku tiba di jaman purba, dimana homo sapiens mulai menemukan kebudayaan. Masa lalu dari semua sejarah bumi termasuk arsitektur dimana semua masih alami, utuh, perawan, lugu, sederhana, liar, tanpa batas dan indah..


Akhirnya kutemukan arsitektur paling primitif yaitu gua, entah itu bisa disebut arsitektur atau bukan. Namun jika menilik kemampuan manusia purba untuk mengenal ruang, dan kenyamanan relatif yang ditimbulkan dari ruang primitif itu, walaupun bukan manusia yang menciptakannya, maka untukku itu bisa disebut arsitektur, arsitektur oleh alam mungkin.


Sebuah gua, sebuah ruang yang menyatukan sekaligus mengisolasikan manusia dengan alam. Didalamnya manusia berinteraksi, beraktifitas, melindungi dan dilindungi, melayani dan dilayani tidak ada ruang yang memisahkan antar mereka.


Tak perlu ada perebutan hak tanah, semua tanah dan lansekapnya adalah milik manusia, dan manusia bebas menempatinya.


Tak ada saling menutupi pandangan dan mengklaim pemandangan untuk sendiri. Seluruh pemandangan yang nampak boleh dinikmati semua orang. Setiap hari ketika keluar dari gua, manusia disuguhkan karya arsitektur agung oleh ibu alam yang dinamis, hidup, bernafas, beregenerasi, bersuksesi, memperbanyak diri, menghidupi diri sendiri, mati, gugur, tumbuh, berubah warna, hangat, dan yang terpenting luar biasa indah dan menggugah jiwa (membayangkan keluar dari gua setelah bangun pagi).


Kuhirup udaranya sebanyak mungkin……….


Ah…. Si Doraemon sudah mengajak pulang


Kapan ya bisa mencoba tinggal di gua?

pohonku anakku



Satu waktu, aku nonton sebuah dorama jepang. Dalam sebuah episode diceritakan seorang bapak membuat cacat lemari kayu kesayangan sang istri, karena lemari itu hadiah pernikahan mereka. Sang bapak yang takut tidak memberitahukan istrinya kalau lemarinya cacat. Diam-diam dia ke hutan terus menanam sebatang pohon dengan kayu yang sama dengan kayu lemari istrinya. Setiap hari sang bapak merawat pohon itu tanpa diketahui istrinya.

20 tahun kemudian...

Sang bapak menghadiahi sang istri lemari baru dengan bentuk yang sama dengan lemari istrinya yang rusak dari kayu pohon yang ditanamnya. Sang istripun menangis melihat tekad yang kuat dari suaminya dan semakin jatuh cinta.

Pasca nonton...
Aku cuma sedikit merenung, jika saja, untuk setiap satu anak yang lahir ke bumi, orangtua menanam sebatang pohon yang nantinya bisa digunakan sang anak untuk membangun rumahnya, sedikit banyak bisa mengurangi beban bumi untuk memberikan perlindungan bagi kita. Dan tentu saja bisa menghijaukan bumi.

Tradisi satu anak satu pohon sudah ada di aceh, bedanya, kalau di aceh hanya sebagai simbol, dan pohon tersebut tidak boleh ditebang dengan alasan apapun.

Pernah baca dari blog tetangga juga, tentang ide satu anak satu pohon. Tapi sebagai manusia bodoh yang masih keras kepala mempelajari arsitektur, tiba-tiba terbersit, agaknya satu pohon untuk satu anak bisa dijadikan alternatif bahan material yang sustainable.

Baru sebuah angan memang, namun mungkin bisa menjadi angin segar di masa depan.

Ketika pohon menjadi sangat diidolakan manusia dan sudah terlalu banyak dan populasi manusia menurun, bisa dibalik, satu anak untuk satu pohon, jadi, setiap menanam satu pohon sang penanam wajib membuat anak. Ha ha ha ha....