Rabu, April 01, 2009

Yang Ideal Hanya Relativitas

Seorang teman berkisah tentang arsitektur yang asli. Arsitektur di luar kertas bercoretkan tinta. Di luar kosmetik penghias rupa. Di luar prosedur. Di luar trend. Di luar plagiatisme. Di luar majalah arsitektur populer. Di luar otoritas keping-keping emas. Di luar ketenaran. Hanya untuk mempertanyakan identitas arsitektur yang sebenarnya. Pertanyaan yang timbul ketika berbentur dengan realitas. Tulisan yang mengingatkanku untuk menuliskan tentang arsitektur ideal. Gelitikan yang sempat singgah di otakku namun akhirnya hanya ditumpuk di sudut sana, menanti untuk dituangkan...

...

Aku orang desa. Berpikir juga ala orang desa. Ndeso kalo istilah orang jawa. Hampir tiap hari aku mengakrabi pohon-pohon tinggi di lingkungan rumahku. Setiap rumah punya 'kebun' yang kira-kira 3 kali lipat luasan rumahnya sendiri. Sesuatu yang nantinya kulihat sebagai kemewahan.

Bersepeda mengelilingi lingkungan hampir kulakukan setiap sore. Hijau selalu menjadi warna yang dominan. Setiap orang yang kutemui kuusahakan untuk menyapa dengan senyum. Ada yang tidur di teras dengan sangat pulas, bisa kubayangkan enaknya tidur diiringi semilir angin dan suara burung yang seakan menina bobokanku. Ada yang sedang menanam bunga yang baru saja di dapat di hutan, bunga indah yang mungkin di luar sana diperdagangkan dengan rupiah yang tidak sedikit. Ada teman-temanku yang sedang bermain bola di halaman di depan rumahnya. Keriangan mereka menendang bola seakan tertular kepadaku. Akupun tidak bisa menolak untuk mampir sekedar ikut menendang bola dan meriuhkan suasana dengan tawa dan canda.

Bersepeda kembali ke rumah dengan peluh membuatku semakin mengencangkan kayuhan sepedaku agar angin masuk ke dalam bajuku menyapu peluh-peluh itu untuk pergi dan menggantikannya dengan kesejukan.

Masa lalu mengajarkan aku tentang nikmatnya mengalami ruang. Bagaimana mengajarkan aku untuk menghargai arsitektur bukan hanya sebagai batas (boundary) berbentuk ruang (space) tapi sebagai sebuah tempat (place). Kalau ada orang pintar di luar sana mengatakan architecture is the art of space, aku lebih suka mengatakan architecture is the art of place.

Dalam pengalaman ruangku aku belajar. Sebuah pesan tertangkap dalam memoriku tentang ruang. Pesan yang akan kusampaikan kembali dalam arsitekturku. Arsitektur merupakan kertas putih berisi cerpen dengan bahasa ruang yang membangkitkan imajinasi dan emosi.

Arsitektur identik dengan building, namun bagiku, arsitektur itu tetap sebuah ruang dan tempat, apapun bentuknya entah itu building, interior, lansekap, artwork, manusia, dengan tujuan yang sama, untuk dunia yang lebih baik.

Mungkin terlihat terlalu naif di tengah gencarnya publikasi para superhero arsitek, di tengah terbangunnya bangunan supercanggih, di tengah konsep yang njelimet berdasarkan filosofi tingkat tinggi, di tengah bertebarnya keping-keping emas untuk bangunan yang memuaskan para manusia awan. Bahkan terlalu naif di tengah deadline superketat dari kantor.

Entahlah, aku hanya berpikir cara orang desa menikmati ruang. Cara orang desa bersahabat dengan alam dan bangunan. Cara orang desa menciptakan tempat (place) dari ruang mereka.

Hmmm....

Jadi, apa arsitektur bagi ideal anda?