Rabu, April 01, 2009

Yang Ideal Hanya Relativitas

Seorang teman berkisah tentang arsitektur yang asli. Arsitektur di luar kertas bercoretkan tinta. Di luar kosmetik penghias rupa. Di luar prosedur. Di luar trend. Di luar plagiatisme. Di luar majalah arsitektur populer. Di luar otoritas keping-keping emas. Di luar ketenaran. Hanya untuk mempertanyakan identitas arsitektur yang sebenarnya. Pertanyaan yang timbul ketika berbentur dengan realitas. Tulisan yang mengingatkanku untuk menuliskan tentang arsitektur ideal. Gelitikan yang sempat singgah di otakku namun akhirnya hanya ditumpuk di sudut sana, menanti untuk dituangkan...

...

Aku orang desa. Berpikir juga ala orang desa. Ndeso kalo istilah orang jawa. Hampir tiap hari aku mengakrabi pohon-pohon tinggi di lingkungan rumahku. Setiap rumah punya 'kebun' yang kira-kira 3 kali lipat luasan rumahnya sendiri. Sesuatu yang nantinya kulihat sebagai kemewahan.

Bersepeda mengelilingi lingkungan hampir kulakukan setiap sore. Hijau selalu menjadi warna yang dominan. Setiap orang yang kutemui kuusahakan untuk menyapa dengan senyum. Ada yang tidur di teras dengan sangat pulas, bisa kubayangkan enaknya tidur diiringi semilir angin dan suara burung yang seakan menina bobokanku. Ada yang sedang menanam bunga yang baru saja di dapat di hutan, bunga indah yang mungkin di luar sana diperdagangkan dengan rupiah yang tidak sedikit. Ada teman-temanku yang sedang bermain bola di halaman di depan rumahnya. Keriangan mereka menendang bola seakan tertular kepadaku. Akupun tidak bisa menolak untuk mampir sekedar ikut menendang bola dan meriuhkan suasana dengan tawa dan canda.

Bersepeda kembali ke rumah dengan peluh membuatku semakin mengencangkan kayuhan sepedaku agar angin masuk ke dalam bajuku menyapu peluh-peluh itu untuk pergi dan menggantikannya dengan kesejukan.

Masa lalu mengajarkan aku tentang nikmatnya mengalami ruang. Bagaimana mengajarkan aku untuk menghargai arsitektur bukan hanya sebagai batas (boundary) berbentuk ruang (space) tapi sebagai sebuah tempat (place). Kalau ada orang pintar di luar sana mengatakan architecture is the art of space, aku lebih suka mengatakan architecture is the art of place.

Dalam pengalaman ruangku aku belajar. Sebuah pesan tertangkap dalam memoriku tentang ruang. Pesan yang akan kusampaikan kembali dalam arsitekturku. Arsitektur merupakan kertas putih berisi cerpen dengan bahasa ruang yang membangkitkan imajinasi dan emosi.

Arsitektur identik dengan building, namun bagiku, arsitektur itu tetap sebuah ruang dan tempat, apapun bentuknya entah itu building, interior, lansekap, artwork, manusia, dengan tujuan yang sama, untuk dunia yang lebih baik.

Mungkin terlihat terlalu naif di tengah gencarnya publikasi para superhero arsitek, di tengah terbangunnya bangunan supercanggih, di tengah konsep yang njelimet berdasarkan filosofi tingkat tinggi, di tengah bertebarnya keping-keping emas untuk bangunan yang memuaskan para manusia awan. Bahkan terlalu naif di tengah deadline superketat dari kantor.

Entahlah, aku hanya berpikir cara orang desa menikmati ruang. Cara orang desa bersahabat dengan alam dan bangunan. Cara orang desa menciptakan tempat (place) dari ruang mereka.

Hmmm....

Jadi, apa arsitektur bagi ideal anda?

Selasa, Maret 24, 2009

Scramble and Solve!

Berhari-hari aku kecanduan pada yang namanya rubik's cube. Ajaib memang benda satu ini. Puzzle sederhana berbentuk kotak 3x3x3 dengan 6 sisi berbeda warna yang memiliki 43252003274489856000 (mungkin disebut 43 juta triliun, atau ada istilah lain?) kemungkinan kombinasi!!!! Gila! Berbagai video tutorial kupelototi. Dari metode beginner yang berhasil kupraktekkan dalam 2,5 menit, hingga metode friedrich yang bisa membawaku menyelesaikan puzzle ini dalam 35 detik (rekor terakhir).

Dan yang lebih membuatku bangga pada mainan satu ini adalah sang pencipta yang bernama Erno Rubik adalah seorang profesor arsitektur asal Hongaria. Jenius! Namun beliau juga frustasi pada puzzle ciptaannya bahkan berkata bahwa puzzle ini mustahil untuk diselesaikan. Mungkin backgroundnya sebagai manusia berlabel arsitek membawanya untuk menciptakan mainan yang berhubungan dengan warna dan kotak (ruang). Berhubungan dengan order dan disorder. Sebagaimana paham materialisme yang sangat mengakar pada budaya barat. Bagaimana membongkar ruang yang kotak dengan diputar (twist) dan dibengkokan (bend).

Cuma mengira-ngira...

Tapi yang pasti, arsitektur selalu berkaitan dengan ruang dan warna. Bahkan di dalam sebuah site yang masih telanjang dan naif merupakan sebuah ruang dengan warna yang masih acak. Kesensitifan dan kejelian arsiteklah yang membawa warna-warna itu kedalam sebuah tatanan seperti layaknya rubik's cube yang telah solve, atau membawa warna-warna itu kedalam sebuah formasi acak yang baru yang memiliki makna baru bagi ruang naif itu.

Hmmm....

Kembali meracau yang tidak jelas.

Kalau pertanyaan dari blog seorang rekan arsitek pintar : "Can you merge space?"

Pertanyaanku adalah:

"Can you solve space?"

Kamis, Maret 19, 2009

Gear

Gear

Blogku mati suri...

Blogku koma...

Blogku mengalami regresi...

Blogku melewati void...

Ah. Setelah cukup lama tidak menjejali halaman blogku dengan pikiran-pikiran ilegalku, untuk memulai lagi tidaklah mudah. Banyak ide yang singgah semudah ide itu untuk pergi lagi, yang akhirnya berujung pada mengaratnya halaman blogku. Tanganku rehat menulis bukan tanpa alasan, tetapi karena satu hal... sebuah leptop.

Yup! Inilah alasanku menunda tulisan-tulisan ilegalku. Sebelum beli aku sudah terlalu bersemangat untuk ngeblog dengan leptop di kosan. Sehingga tidak terbersit untuk menulis di sela kepadatan kantor. Namun karena rencana membeli tertunda hingga sebulan akibat dollar yang terus menggila, akhirnya leptop ini berada di kosanku. Namun baru 2 minggu setelah membeli akhirnya aku berhasil untuk mengumpulkan niat kembali menulis.

Perkenalkan gear terbaruku untuk menulis dan berkarya leptop asus n10j! Yang kusebut leptop konsep. Mengapa? Karena leptop ini hanya berlayar 10,2", hanya  menggunakan prosesor intel atom 1,6ghz, namun telah dijejali vga nvidia geforce 9300. Intinya leptop ini hanya mampu berlari hingga tahap konsep yang memang menjadi tujuanku. Sebuah leptop untuk menulis ide, sketsa ide, sketsa 3d dan potoshop ringan dimana saja dan dalam posisi apa saja. Seperti sketchbook, karena aku suka sketsa.

Gear keduaku adalah 2 buah rubik's cube puzzle. Sebuah puzzle yang dari kecil selalu membuatku frustasi karena tidak pernah bisa menyelesaikan hingga saat ini bisa kuselesaikan dalam 50 detik dan membuatku ketagihan.

Itu gear terbaruku, sedangkan gear lamaku masih setia menemaniku adalah bass yamaha rbx 270j dan nintendo ds lite. Bass untuk menyalurkan emosi dalam nada, dan nds yang multifungsi untuk bermain game, mendengar lagu, melatih otak dan belajar bahasa asing.

Kalau dibandingkan dengan gear boss di kantorku yaitu notebook macbook pro, blackberry, iphone, berapa sepeda yang lebih mahal dari motorku, kamera nikon high end d300 dan d2x sepertinya gearku tidak ada apa-apanya. Kata kuncinya hanya seberapa cukup adalah cukup begitu kata sang maestro Adi Purnomo.

Dengan gearku aku bisa berimajinasi dan menuangkannya. Itu cukup.

Arsitektur itu tentang kontrol, begitu kata Putu Mahendra. Bagaimana kita mengontrol alam, mengontrol sirkulasi, mengontrol bahan, mengontrol desain, mengontrol ego dll, hingga mendapatkan sesuatu yang maksimal. Setiap jengkal tanah punya kecerdasan tersendiri, punya teriakan yang berbeda, bagaimana kita sensitif pada teriakan itu dan mengontrol ego untuk bisa bersanding dengan tanah secara harmonis.

Mungkin itu yang sedang kuterapkan pada gearku. 2 kata kunci dari 2 arsitek maestro pada kelasnya, "seberapa cukup adalah cukup" dan "kontrol namun tetap maksimal".

Hmmmppphhh....

What's your architect's gear?

Sabtu, Februari 07, 2009

Smile!


Jumat, 22:00 WITA
Lokasi : Kamar kos

Tak terasa satu hari lagi dari perjalanan panjangku untuk menjadi orang baik berhasil kulalui. Kuletakkan tasku di sudut kamarku, tempat biasanya dia kuletakkan. Kurebahkan badanku di kasurku yang sudah terlihat usang. Pembicaraan terakhir dengan beberapa rekan yang menutup rutinitas kerja hari ini adalah seputar Adi Purnomo dan Romo Mangun. Tentang kecerdasan mereka menggauli material. Kemampuan yang hanya bisa didapat dari pengalaman yang matang dan jam terbang yang tinggi, itu menurutku. Kedekatan mereka dengan material yang tidak hanya berupa tarikan garis dan tulisan di atas kertas. Kedekatan dengan pelaksana pembangunan yaitu para tukang, dan membuat desain yang memanusiakan mereka.

Masih dalam lamunanku malam ini, tiba-tiba terlintas masa-masa dimana aku berguru dengan salah satu murid romo Mangun yaitu Pak Pradipto. Beberapa kali aku diajak untuk mengunjungi proyeknya, yang sedang dalam tahap konstruksi ataupun yang sudah terbangun. Dari beberapakali kunjungan tersebut, ada 2 proyek yang membuatku sangat terkesan sampai saat ini, rumah seorang wanita ekspatriat jerman dan rumah seorang seniman yang sudah memiliki jam terbang yang tinggi di dunia seni nasional maupun internasional.

...

Pada saat mengunjungi rumah pertama, kami langsung disuguhi keramahtamahan ala manusia eropa. Rumah yang tidak begitu besar, hanya terdiri dari 2 lantai berisi 3 kamar tidur, ruang kerja, dapur dan ruang tamu. Yang luar biasa hanyalah material yang digunakan seluruhnya dari kayu dan atap dari alang-alang. Tak ada kesombongan dalam desain, yang ada hanyalah kesederhanaan dan kebauran dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Keteduhan dalam naungan atap dan vegetasi menyatu dalam obrolan-obrolan ringan diiringi beberapa teguk coklat hangat dan potongan biskuit.

...

Demikian juga rumah kedua, rumah dengan keterbukaan, dan tidak terlalu besar. Sesuai dengan pernyataan seorang Adi Purnomo, seberapa cukup adalah cukup. Kami diterima di ruang tamunya yang terbuka. Kebebasan jiwa dan kesahajaan seorang seniman tercermin di dalam ruang tamu yang tidak terlalu besar ini. Tak ada formalitas. Yang ada hanya kejujuran.

...

Bukan soal desain, atau bukan juga soal konsep yang membuatku teringat akan kedua desain itu. Aku hanya teringat akan senyum kedua pemilik rumah itu.

Ya. Senyum.

Senyum kebanggaan akan tempat tinggal mereka walaupun bukan istana termewah. Senyum yang mencerminkan kenyamanan walaupun rumahnya tak luput dari kekurangan desain. Senyum kekayaan walaupun kulit ketiganya hanya terbangun dari keterbatasan dana. Senyum kepuasan walaupun rumahnya tak pernah diekspos dan digembar-gemborkan di depan publik.

Masterpiece yang tercipta dari dialog, bukan hanya ego arsitek. Karya agung yang terpatri dalam hati arsitek dan klien.

Seperti pentingnya senyum si orang penting,  begitu juga pentingnya senyum dalam arsitektur bagiku.

Hmmm....

Arsitektur untuk senyum, mungkin itulah yang harus kukejar...

Selasa, Februari 03, 2009

Love Complex


Dari sejak saat itu, sejak saat aku tidak lagi bersama dia. Hari-hari kulalui dengan datar, bahkan cenderung hampa. Walaupun aku sedang bersama 'dia yang baru' mengisi hari-hariku.

Awal tahun ketika aku diperkenalkan kepada 'dia yang baru', aku merasa senang. 'Dia yang baru' seakan mulai mengisi sudut pikiranku yang tak bisa diisi oleh 'dia yang lama'. Hari demi hari kulalui bersamanya. 'Dia yang lama' benar-benar kuacuhkan. Entah dia merasa sedih atau tidak.

Namun perlahan, kebahagiaan dari 'dia yang baru' terasa semakin semu. Aku mulai merindukan 'dia yang lama'. Walaupun 'dia yang lama' tak sempurna, namun aku tahu dialah yang terbaik untukku.

Semakin lama, kebahagiaan semu itu semakin membusuk. Tak ada hari yang kulalui tanpa kegelisahan dan ketidaknyamanan. Aku harus bisa melepas 'dia yang baru'. Aku ingin kembali pada 'dia yang lama'.

Terlalu banyak kemunafikan pada 'dia yang baru'. Mungkin hanya perasaanku. Aku tertipu oleh rupanya yang cantik. Aku percaya, banyak yang lebih pantas untuk 'dia yang baru'.

Bayangan 'dia yang lama' terus menggangguku. Memori demi memori terlukis kembali, melayangkan nyawaku dari tubuhku yang sedang bersama 'dia yang baru'.

...

Awal bulan ini, akhirnya aku berkesempatan untuk bertemu 'dia yang lama'. Kesempatan emas yang tak akan kubuang untuk memintanya kembali padaku. 'Dia yang baru' kuacuhkan, entah dia sadar atau tidak.

Gayung bersambut, 'dia yang lama' juga membutuhkanku. Semangat itu datang kembali. Semangat yang sempat hilang. Hari-hari kedepan aku akan tambah semangat menghadapi hariku. Karena aku sudah ada 'dia yang lama' di sampingku.

Selamat tinggal kerjaan interior

Selamat datang kerjaan landscape

...

:-)

Jumat, Januari 23, 2009

Cheers...!!!

Pagi hari, setelah aku siap untuk berangkat kerja, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Sebuah buku yang belum pernah kusentuh sejak berada di dalam rak bukuku. Kuraih buku itu, kemudian kubuka beberapa lembar pertama, sampai kepada sebuah halaman...

Dear mr. Arief
May your time with BDS be happy, healthy and fun
cheers
Bill Bensley

Begitu kata-kata mutiara dari pak Bill saat aku meminta tandatangannya di buku barunya "Paradise by Design", sebuah buku portofolio yang berisi masterpiece dari sang master landscape yang kebetulan juga sebagai mahaguru di kantorku ini. Kata-kata sederhana yang membentuk perspektif baru bagiku dalam memandang arsitektur, bahkan dalam memandang hidupku yang sarat ketidakpastian dan kesementaraan.

Happy. Untuk kebahagiaan dalam mendesain. Untuk keoptimisan. Untuk semangat

Healthy. Untuk keseimbangan antara tubuh dan otak. Untuk mengeluarkan seluruh potensi dengan maksimal.

Fun. Untuk bermain dengan imajinasi. Untuk bersenang-senang. Untuk kekompakan dalam tim.

Sinergi ketiganya menghasilkan aura positif yang baik secara sadar maupun tidak tertular dalam desain. Yang membangkitkan aura positif penikmat ruang melalui pesan transeden dalam desain.

It's just the way to make a better place.

...

Membongkar kembali folder-folder kerjaanku di kantor. Untuk mencari jejak aura positif dalam desainku. Akhirnya aku menemukan satu sketsa waterspout sculpture di sebuah project spa di nusa dua. Desain sederhana. Hanya sebuah sculpture kepala dengan waterspout dari mulut.

Hanya ingin berbagi aura positif kepada penikmat ruang. Berdialog dengan subjek arsitektur dalam kejenakaan. Dalam penghiburan. Dalam sebuah pesan...

Cheers....

Jumat, Januari 16, 2009

Trinity


Beberapa waktu yang lalu, seorang rekan mengatakan sebuah kalimat yang sampai saat ini terngiang di kepalaku.

"Itu kan urusan arsitek! Kita urusin interior aja!"

Ya. Memang saat itu aku sedang mengerjakan project dalam koridor desain interior untuk sebuah project di mumbai. Kalimat tersebut memang tidak salah dalam sebuah koridor profesionalitas, namun bagiku kalimat tersebut terasa begitu mengganjal. Mengapa terjadi pengkotakan dalam arsitektur. Menurutku, entah itu desain lansekap, bangunan ataupun interior, mereka berada dalam satu kaki menjejak di tanah yang sama. Tiga-tiganya tidak terpisah. Trinity, tiga dalam satu, begitu kata seorang rekan.

Namun sering terjadi seorang arsitek begitu gusar saat desainnya di'seruduk' desainer interior supaya desainnya masuk. Demikian juga sebaliknya. Sebuah project menjadi mendan perang bagi ketiganya. Saling beradu ego. Ingin terlihat paling menonjol.

Ego kerapkali mengaburkan idealisme....

Kalau arsitektur bertujuan untuk hidup yang lebih baik, seharusnya ketiganya berpegangan tangan, berdialog, bersinergi dalam satu nyawa, saling melengkapi.

Sebuah hal yang realistis ataukah utopis?

Mari berpegangan tangan...

Bahasa Hujan

Kebun Sanur, 19:30 WITA
Keheningan kantor bersama dinginnya udara malam ini semakin membuatku malas untuk beranjak dari kursi kantor. Sebagian besar rekan kantorku sudah keluar untuk makan dan pulang. Di ruang gajah tinggal aku dan seorang senior. Mungkin beberapa saat lagi saat kemalasan mulai berkurang dan perut mulai keroncongan kita akan mengikuti rekan yang lain untuk beranjak meninggalkan kantor ini menuju ruang transisi dengan udara dinginnya. 

Ya. Ruang transisi. Begitu aku menyebut ruang di antara kantor dan kos-kosanku. Karena setiap hari, ruang itu hanya menjadi ruang yang mengantarkan aku ke kantor. Ruang antara yang sangat dinamis, kadang ramai, kadang sepi, kadang gelap, kadang terang, kadang panas, kadang dingin. Sangat relatif. Dan malam ini ruang transisi sedang dalam status dingin.

...

Beberapa hari belakangan, sepertinya langit tidak begitu ramah pada bumi dan manusia. Tak ada hari yang absen dari guyuran hujan yang ditumpahkan dari langit. Ya. Bukan lagi mengucur, tapi tumpah! Daerah renon yang menurutku cukup aman dari banjir saja bisa tergenang air setinggi 50 sentian. Bahkan ada seorang teman yang libur karena kantornya ikut tergenang!

Setiap hari, hanya bisa merinding ketika melihat melihat ke luar kaca jendela dari dalam kantor. Merinding membayangkan rasanya berada di luar sana. Hujan deras disertai angin yang cukup kuat untuk menggoyangkan sebatang pohon yang selama ini terlihat begitu tegar. Mungkin langit memang sedang kesal pada manusia yang mulai tidak menghargai alam.

Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan klasik (menurutku) yang selalu menjadi bahan cercaan dosen ketika setiap akhir semester seorang mahasiswa mempresentasikan desainnya.

"Ini kalo mau kesini pas hujan bagaimana? Gak ada atapnya gini"

Dulu aku hanya bisa garuk-garuk kepala dengan tersenyum pahit. Jawaban yang menurutku cukup masuk akal saat ini adalah:

"Ya basah pak"

Ya...

Basah...

Alam hadir lebih dahulu daripada manusia. Hujan yang merupakan karya agung dari langit, dapat dijadikan teman atau lawan. Ada saatnya kita diam hanya untuk menikmati karya agung dari langit tersebut. 

Alam merupakan sumber pengalaman yang luar biasa yang selalu berusaha menyapa anak-anaknya. Ada saatnya bersentuhan dengan air, berlari melewatinya dengan payung, atau sengaja menerobos dengan kepala basah menghasilkan sebuah pengalaman yang berbeda daripada melewatinya dengan lantai dan atap yang nyaman. Terdapat kejujuran dan kenaifan dalam pengalaman itu. Ada yang tertawa setelah menerobos hujan karena dalam beberapa langkah lari tersebut alam menyentuh memori masa anak-anaknya.

Hanya sebuah justifikasi yang relatif.

Lebih banyak alasan menurut ego manusia untuk menyangkalnya.

Tapi satu yang kupegang, bahwa alam ingin menyentuh kita semua dalam berbagai cara. Tergantung kesensitifan sang arsitek untuk menerjemahkan bahasa alam tersebut sebagai teman dalam desain. Agar sentuhan tersebut sampai kepada penikmat arsitektur.

Seperti kata Pak Joseph Prijotomo " Arsitektur nusantara adalah rumah di dalam kebun. Bukan kebun di dalam rumah"

Kebun Sanur, 20:00 WITA
Kantor telah sepi. Tinggal aku sendiri, rekan yang tadi menemani sudah pulang lebih dulu. Mungkin sudah saatnya aku juga ikut beranjak untuk menikmati ruang transisi di luar sana yang pastinya masih dingin. Menyapa alam, menyelami bahasanya....

Sabtu, Januari 10, 2009

The Rat Chronicle


Yang pernah berkuliah di arsitektur pasti pernah merasa terusik mendengar nama derrida. Siapa orang ini, sehingga panggung arsitektur dunia tergoncang. Kemapanan, kestabilan bergerak menuju ketidakstabilan. Requestioning terjadi dimana-mana. Pengetahuan yang dibangun dalam hitungan puluhan tahun, runtuh.

Tentang petanda dan penanda...

Tentang jejak yang muncul lebih dahulu daripada keberadaan...

Aku tidak akan membahas lebih lanjut, karena, banyak yang lebih pakar dalam hal ini. Kelebatan kata-kata tadi muncul karena sebuah drama yang baru saja terjadi. Sebuah anekdot barangkali. Kisahnya seperti ini....

Januari awal...
Aku membuka pintu taksi bersama seorang rekan dari bandara ngurah rai. Dengan barang beberapa pikul kita menuju kamar kosku. Aku hendak mengambil motorku, karena aku berjanji mengantarkan rekanku ini ke kosnya. Yup! Kita patungan Taksi dalam rangka mengirit. He he he....

Sesampainya di kamar. Kunci kumasukan. Cklek! Handle diputar. Begitu masuk kamar. Aku terkejut dengan banyak gumpalan-gumpalan hitam kecil di lantai. Kotoran tikus!!! 

...

Setelah mengantarkan temanku tersebut. Aku sampai didepan pintu kamar kosku dengan mengeluh. Fiuh! Still have a lot of things to do. Yup! Akhirnya aku membersihkan setiap sudut kamar dengan sapu. Dan alangkah terkejutnya aku, karena gumpalan hitam itu berserakan lebih banyak di bawah kasur, di balik lemari dan tempat-tempat lain yang tersembunyi. Dan aku tidak menemukan tikusnya. Damn! Pekerjaan menyapu yang sering kuhidari karena aku alergi debu akhirnya harus dijalani. Dan akibatnya, sampai saat ini aku masih flu akibat debu tersebut.

Argh... Kurebahkan badan kurusku ke springbed queen size tanpa sprei yang sudah terlihat agak tua. "Akhirnya selesai. Bisa tidur dengan tenang. Toh tikusnya tidak ada..."

....

Keesokan paginya, ternyata gumpalan itu muncul lagi. Damn! Tikus sial!

Pulang kerja, aku langsung menuju swalayan terdekat untuk membeli lem tikus! Tikus ini harus dibasmi, pikirku.

Sesampainya di kos, selembar karton kusiapkan sebagai alas untuk memasang "perangkap maut", tak lupa aku membeli kacang-kacangan yang menurutku tikus sangat suka sebagai umpan ditengah-tengah perangkap itu. Dan akupun tidur dengan tenang, karena memang yakin perangkap itu akan berhasil.

....

Keesokan paginya. Gatcha!!! Perangkap berpindah tempat. Seekor tikus menggeliat menempel pada karton. Tidak berdaya. Pasrah. Mission accomplished!!!

....

Dalam anekdot ini, aku berpikir, kotoran hadir sebagai jejak. Jejak yang menandakan keberadaan sumbernya yaitu tikus. Walaupun kotoran itu bukan tikus, tapi keberadaan tikus yang dibawa dalam kotoran itu sangat jelas. Jejak itu datang terlebih dahulu, kemudian sumbernya muncul. Hmmm... Mungkin derrida pernah terinspirasi tikus?

...

Keberadaan arsitektur yang selalu menonjolkan keberadaannya semakin menimbulkan kejenuhan. Paham materialisme yang dibawa bangsa barat memperkecil kemungkinan yang tidak ada untuk muncul. Arsitektur bukan hanya tentang yang ada, namun juga tentang yang tidak ada. Tubuh dan nyawa. Masa kini, dan masa bukan kini (masa depan dan masa lalu). Bahkan seorang eisenman sering menggunakan bangunannya yang ada sebagai jejak, sebagai petanda untuk sebuah keberadaan lain yang juga merupakan sebuah petanda.

Hmmm...

Mari membuat jejak...

Selasa, Januari 06, 2009

My Polar Express


Menutup tahun 2008 dilalui oleh beberapa kejadian yang membawaku kedalam semangat baru untuk melalui tahun yang baru. 

[1]
Akhir tahun 2008 ditutup dengan batalnya aku dan teman-temanku untuk meneruskan kompetisi yang sudah kita rintis dari beberapa bulan yang lalu, akibat pengerjaan yang tertunda karena kesibukan di kantor masing-masing sebelum libur, dan tidak relanya melepaskan waktu libur yang sangat berharga untuk berarsitektur. Libur yang sangat dinantikan dari awal tahun untuk menjadi bodoh, untuk berhura-hura, untuk lepas dari tanggungjawab, untuk menikmati hasil kerja keras, untuk bersama orang-orang tersayang, untuk beristirahat. Kejadian yang juga terjadi pada seorang teman di negeri seberang. Jadi mengerti kenapa beberapa rekan di kantorku selalu mati langkah dalam hal kompetisi ketika bertabrakan dengan waktu kerja dan waktu pribadi. Tapi aku tidak menyesalinya.

Kejadian ini membawa pengertian lebih mendalam tentang waktu. Waktu yang selalu berjalan linear. Tak pernah mau berhenti atau balik. Selalu ada rasa syukur dan menyesal ketika membuat pilihan yang didasari waktu.

Arsitektur juga tentang pilihan. Tentang bersyukur dan menyesal. Tentang berjalan melewati waktu. Tentang tanggung jawab, sekaligus tentang kesenangan. 

[2]
Akhir tahun 2008 ditutup dengan batalnya aku memesan buku-buku arsitektur kategori "bintang" pada seorang teman di negeri seberang. Hanya karena sebuah buku yang kubeli di toko buku Toga Mas Jogja. Buku yang mungkin bagi para arsitek-arsitek dunia hanya sekelas "lampu petromax" ini ajaibnya mampu menerangi sekitarnya dengan kehangatan dalam keterbatasan cahaya. Buku berjudul "arsitektur untuk kemanusiaan: sebuah teropong visual culture atas karya-karya eko prawoto"....

Dalam keinginan mengejar bintang, buku tersebut mencuri perhatianku tentang kesederhanaan dari seorang arsitek bernama Eko Prawoto yang notabene murid maestro Romo Mangunwijaya dan Rem Koolhass. 

Mengingatkanku pada perjalanan 2 tahun bersama guru arsitektur pertamaku Pak Pradipto, yang sama seperti Eko Prawoto, adalah juga merupakan murid Romo Mangunwijaya. Karya-karya mereka hampir mirip dalam artikulasi yang sederhana sekaligus tersimpan kekayaan dalam arsitektur yang disebut "kampungan".

Dari buku pak Eko dan dari berguru pada pak Dip aku belajar, bahwa Kreatifitas selalu timbul dari keterbatasan, dan jika kita jeli, masyarakat golongan bawah yang diberi banyak keterbatasan materi ternyata memiliki kekayaan ide yang luar biasa. Seringkali, solusi kreatif sebuah desain bukan dari orang yang berpangkat arsitek, tapi dari tukang, orang yang sangat dekat dengan arsitektur, yang menurut kaum atas digolongkan sebagai orang-orang pinggiran yang hampir tiap hari bergelut pada  keterbatasan.

Arsitektur hadir dalam keterbatasan, bukan keberlimpahan. Arsitektur yang menyangkut seluruh tubuh, alam dan budaya bukan hanya mata. Membentuk 'place' bukan hanya 'space'. Arsitektur yang bernyawa kata seorang teman. 

....


Dari 2 kejadian tersebut, aku belajar banyak soal bersikap dalam arsitektur. 2 kejadian yang bermula dari kata "batal", kata yang negatif. Tapi justru dari kata negatif tersebut, muncul pengetahuan yang positif. Ying dan yang selalu berdamping.

Ada lagi...

Kejadian terakhir adalah saat menonton film "polar express" bersama si orang penting. Terdapat quote yang membekas sampai saat ini. Bikin semangat untuk tetap melangkah. Dan semoga quote ini bermanfaat bagi kalian-kalian yang ragu untuk melangkah...

"... one things about the train. It doesn't matter where they're going, what matter is deciding to get on..."
(The conductor-Polar express)

Selamat Datang 2009...