Selasa, Januari 06, 2009

My Polar Express


Menutup tahun 2008 dilalui oleh beberapa kejadian yang membawaku kedalam semangat baru untuk melalui tahun yang baru. 

[1]
Akhir tahun 2008 ditutup dengan batalnya aku dan teman-temanku untuk meneruskan kompetisi yang sudah kita rintis dari beberapa bulan yang lalu, akibat pengerjaan yang tertunda karena kesibukan di kantor masing-masing sebelum libur, dan tidak relanya melepaskan waktu libur yang sangat berharga untuk berarsitektur. Libur yang sangat dinantikan dari awal tahun untuk menjadi bodoh, untuk berhura-hura, untuk lepas dari tanggungjawab, untuk menikmati hasil kerja keras, untuk bersama orang-orang tersayang, untuk beristirahat. Kejadian yang juga terjadi pada seorang teman di negeri seberang. Jadi mengerti kenapa beberapa rekan di kantorku selalu mati langkah dalam hal kompetisi ketika bertabrakan dengan waktu kerja dan waktu pribadi. Tapi aku tidak menyesalinya.

Kejadian ini membawa pengertian lebih mendalam tentang waktu. Waktu yang selalu berjalan linear. Tak pernah mau berhenti atau balik. Selalu ada rasa syukur dan menyesal ketika membuat pilihan yang didasari waktu.

Arsitektur juga tentang pilihan. Tentang bersyukur dan menyesal. Tentang berjalan melewati waktu. Tentang tanggung jawab, sekaligus tentang kesenangan. 

[2]
Akhir tahun 2008 ditutup dengan batalnya aku memesan buku-buku arsitektur kategori "bintang" pada seorang teman di negeri seberang. Hanya karena sebuah buku yang kubeli di toko buku Toga Mas Jogja. Buku yang mungkin bagi para arsitek-arsitek dunia hanya sekelas "lampu petromax" ini ajaibnya mampu menerangi sekitarnya dengan kehangatan dalam keterbatasan cahaya. Buku berjudul "arsitektur untuk kemanusiaan: sebuah teropong visual culture atas karya-karya eko prawoto"....

Dalam keinginan mengejar bintang, buku tersebut mencuri perhatianku tentang kesederhanaan dari seorang arsitek bernama Eko Prawoto yang notabene murid maestro Romo Mangunwijaya dan Rem Koolhass. 

Mengingatkanku pada perjalanan 2 tahun bersama guru arsitektur pertamaku Pak Pradipto, yang sama seperti Eko Prawoto, adalah juga merupakan murid Romo Mangunwijaya. Karya-karya mereka hampir mirip dalam artikulasi yang sederhana sekaligus tersimpan kekayaan dalam arsitektur yang disebut "kampungan".

Dari buku pak Eko dan dari berguru pada pak Dip aku belajar, bahwa Kreatifitas selalu timbul dari keterbatasan, dan jika kita jeli, masyarakat golongan bawah yang diberi banyak keterbatasan materi ternyata memiliki kekayaan ide yang luar biasa. Seringkali, solusi kreatif sebuah desain bukan dari orang yang berpangkat arsitek, tapi dari tukang, orang yang sangat dekat dengan arsitektur, yang menurut kaum atas digolongkan sebagai orang-orang pinggiran yang hampir tiap hari bergelut pada  keterbatasan.

Arsitektur hadir dalam keterbatasan, bukan keberlimpahan. Arsitektur yang menyangkut seluruh tubuh, alam dan budaya bukan hanya mata. Membentuk 'place' bukan hanya 'space'. Arsitektur yang bernyawa kata seorang teman. 

....


Dari 2 kejadian tersebut, aku belajar banyak soal bersikap dalam arsitektur. 2 kejadian yang bermula dari kata "batal", kata yang negatif. Tapi justru dari kata negatif tersebut, muncul pengetahuan yang positif. Ying dan yang selalu berdamping.

Ada lagi...

Kejadian terakhir adalah saat menonton film "polar express" bersama si orang penting. Terdapat quote yang membekas sampai saat ini. Bikin semangat untuk tetap melangkah. Dan semoga quote ini bermanfaat bagi kalian-kalian yang ragu untuk melangkah...

"... one things about the train. It doesn't matter where they're going, what matter is deciding to get on..."
(The conductor-Polar express)

Selamat Datang 2009...

5 komentar:

subasuba mengatakan...

kreatif dalam keterbatasan. itu kan prdouk unggulan bangsa kita Indonesia. :)

kalo kata Behnisch dalam seminarnya di i t b tempo kapan itu,

"look at the architecture of your forefathers". arsitektur yang kampungan itu. :D

kan?

Anonim mengatakan...

terimakasih atas refleksinya, membantu mengingatkan saya :)

tapi saya masih tetap mau tahu kemana kereta berjalan ah! biar bisa milih ;)

Anonim mengatakan...

Wah, berat rip... walaupun mirip dengan prinsipku :let it flow,
kadang aku merada bosan kalo ga tau arah.

Tapi setuju dengan kreatif kalo kepepet, it's natural, hahaha...

putex

badri mengatakan...

wah...
bener juga!
kadang-kadang jawaban dari sebuah persoalan yang kita peroleh malah meninggalkan kesan yang
"kurang mendalam"
dibanding proses yang dilalui dalam mencari jawaban itu sendiri

Anonim mengatakan...

hula bang areep (???)

februari yak ....

komennya nggak penting bgt.

peace, love, and gaul!!!