Minggu, Oktober 19, 2008

Architecture as a Silent Music


Architecture is "frozen music"… Really there is something in this; the tone of mind produced by architecture approaches the effect of music."
Johann Wolfgang von Goethe

Architecture as the frozen music
Pythagoras


Manusia memang makhluk yang menarik, manusia (termasuk aku) punya akal budi yang punya potensi yang sangat luar biasa. Berbeda dengan hewan, manusia diberi akal budi untuk mencipta. Mencipta sesuatu yang dinamakan budaya. Salah satu produk akal budi yang kemudian ditambahkan emosi adalah seni. Seni merupakan representasi fraktal dalam koridor tatanan dan emosi akan hubungan manusia dengan alam. Kemampuan manusia dalam merepresentasikan alam ini berbeda-beda tergantung peta kekuatan akal budi masing-masing, sehingga terciptalah berbagai cabang seni dengan berbagai macam style.

Seni memang berasal dari alam. Termasuk arsitektur dan musik. Banyak sudah para pandai-pandai di luar sana yang berhasil menghubungkan antara musik dan arsitektur. Bahkan seorang pandai bernama pythagoras mengaburkan batas antara arsitektur dan musik dengan frase "arsitektur sebagai musik yang beku". Hmmm.... Memang perlu diskursus yang panjang untuk membahas frase ini. Tapi menurutku, sebagai suatu produk akal budi yang memiliki proses yang sama untuk mengolahnya menjadi apa yang disebut seni, keduanya hanya berbeda dari indera dominan yang digunakan.

Jadi teringat, sewaktu masih berstatus mahasiswa, yang masih sangat ekspresif dalam menyampaikan emosi, aku punya sebuah band yang memainkan lagu-lagu bergenre hard rock/rock n' roll. Pada saat latihan, ketika seluruh komposisi, rhytm, lirik, melodi, frase, dan emosi dimainkan dalam sebuah lagu, ruang studio musik yang berharga 25ribu pershift seluas 4x5 tiba-tiba menjadi sangat luas, tak ada sudut-sudut yang dilapisi oleh bahan kedap suara, imajinasi, emosi menembus dinding ruang, langit-langit yang hanya setinggi 3 meter seakan tanpa batas menembus, menyentuh sudut bintang. Tidak lagi berada di dalam sebuah ruang sempit, tapi sudah pindah ke ruang imajinatif yang sangat personal, seluruh emosi dan ruang menyatu dalam sebuah kesederhanaan sekaligus kedalaman sebuah lagu dan lirik. Jika musik bisa meruang, aku yakin arsitektur juga bisa bernyanyi.

Musik bisa diekstraksi menjadi ruang, sebaliknya arsitektur juga dapat dinadakan sebagai musik. Bahkan keduanya bisa melebur menjadi satu dalam bahasa ruang atau nada.

Kembali ke frase phytagoras dan wolfgang, menurut saya, arsitektur lebih dari itu, arsitektur bukan musik yang beku, kebekuan tidak bernyanyi, kebekuan itu stagnan, mati suri. Musik dan arsitektur berasal dari representasi alam, dan alam adalah material yang sangat dinamis dalam ke-chaos-annya. Arsitektur adalah musik yang diam, musik yang secara dinamis tetap bersenandung dalam kesunyian dan kediaman. Musik yang bisa ditangkap secara visual ataupun dengan menyelami makna keruangannya. Musik tanpa suara yang mengalun dalam nada-nada yang tercipta didalam benak penikmat ruang. Musik yang tidak hanya sebatas tampilan tablatur, komposisi, ritme, frase, modulasi, ketukan, perkusif, melodis, tapi lebih dari itu, terdapat kedinamisan makna yang terus bergerak dalam sunyi. Tumbuh, berevolusi, lahir dan mati. Menarik penikmat ruang kedalam makna dan musiknya.

Arsitektur yang didalamnya ada building, landscape dan alam, terus menyanyikan makna. Saling berinteraksi, saling berimprovisasi dengan bahasa musik masing-masing, membentuk sebuah orkestra visual yang dinamis.

Hmmm....

Mari bermusik dengan arsitektur