Minggu, April 27, 2008

Teras Arsitektur Lansekap

"arsitek landscape tidak akan lebih terkenal dari arsitek hospitality, dan arsitek hospitality tidak akan lebih terkenal dari arsitek bangunan publik"

"ngapain masuk kantor landscape? sayang dong ilmu arsitekturnya"

"arsitek kok bikin patung, bikin ukiran, bikin pot bunga?"

"wah belajar nanam pohon dong?"

Kalimat-kalimat itu mengantarku untuk menjejakkan kaki ke halaman baru yang masih asing dan tidak begitu kuketahui dari bangku perkuliahan, yaitu arsitektur lansekap.


Memang di dunia keprofesian di indonesia, profesi arsitek lansekap masih dikonotasikan dengan tukang bikin kebun. Masih dinomortigakan (mengacu pada pernyataan pertama). Anggapan bahwa arsitek hospitality itu desainnya mahal, karena semua serba eksklusif, apalagi arsitek lansekap, buang-buang duit aja bayar arsitek lansekap, pake satu arsitek aja udah cukup, trus tanam pohon sendiri pake tukang taman, semakin mengkukuhkan predikat nomor tiga arsitektur lansekap.

Ya memang tidak semua yang mengatakan seperti itu, tapi tidak sepenuhnya salah juga. Bahkan sampe sekarang anggapan itu masih ada di pikiranku. Dan memang kenyataanya kerjaanku banyak bikin patung, ukiran kolom, artwork, pot bunga, kolam pancuran dll, yang kalau dibandingkan dengan idealisme arsitektur saat bangku kuliah terasa jauh sekali dan terkesan main-main.

Dalam sebuah proyek, lansekap selalu masuk belakangan ketika desain dari arsitek utama sudah jadi. Dari posisi ini arsitek lansekap cuma jadi penonton untuk bangunan karya arsitek lain. Dan 'hanya' mengisi kekosongan yang terjadi dalam desain sang arsitek. Kalau menuruti ego sebagai arsitek yang ingin mendesain bangunannya bukan tamannya, jelas lansekap tidak akan bisa mengakomodasinya.

Sebaliknya menurutku dari posisi ini justru dunia arsitektur bisa terlihat lebih luas dan lebih bebas beridealisme. Lansekap bisa menjadi sebuah bahasa kritik arsitektur yang ekspresif akan bangunan yang diisinya. Ketika maestro seperti gehry atau zaha hadid mendesain sebuah bangunan yang cenderung 'kering', akan menjadi beban untuk arsitek lansekap untuk menyeimbangkan, walaupun secara tidak langsung, untuk menambah hijau di tempat lain.

Berusaha memahami desain yang sudah ada dan mampu mengisi kekosongan yang dibuat arsitek akan memperluas pengetahuan arsitektur dan kemampuan positioning dalam dunia arsitektur.

Ketika sebuah karya dibuat angkuh, adalah lansekap yang memanusiakannya. Ketika karya menjadi kaku lansekaplah yang melembutkannya. Imajinasi akan ruang sangat dibutuhkan dalam menciptakan lansekap yang sinergis dan manusiawi.

Tidak melulu mengurusi tanaman, justru lansekap menjadi jembatan antara lingkungan buatan dengan lingkungan alami. Bahkan bentuk2 eksploratif dan eksperimental bisa dituangkan dalam lansekap. Sense of art, intuisi, lebih banyak berperan dibanding rasionalitas.

Menarik melihat sebuah karya yang kaya dalam dialog antara lansekap dan building.

Namun pada akhirnya semua itu relatif bergantung pada konteks, dan titik acuan. Itu hanya sedikit yang kuketahui dari sebulan bergulat dengan dunia lansekap.

(dari posting saya di milis arsiduaribudua@yahoogroups.com, sebuah komunitas arsitek UGM angkatan 2002 yang sedang berjuang bersama)