Jumat, Januari 16, 2009

Bahasa Hujan

Kebun Sanur, 19:30 WITA
Keheningan kantor bersama dinginnya udara malam ini semakin membuatku malas untuk beranjak dari kursi kantor. Sebagian besar rekan kantorku sudah keluar untuk makan dan pulang. Di ruang gajah tinggal aku dan seorang senior. Mungkin beberapa saat lagi saat kemalasan mulai berkurang dan perut mulai keroncongan kita akan mengikuti rekan yang lain untuk beranjak meninggalkan kantor ini menuju ruang transisi dengan udara dinginnya. 

Ya. Ruang transisi. Begitu aku menyebut ruang di antara kantor dan kos-kosanku. Karena setiap hari, ruang itu hanya menjadi ruang yang mengantarkan aku ke kantor. Ruang antara yang sangat dinamis, kadang ramai, kadang sepi, kadang gelap, kadang terang, kadang panas, kadang dingin. Sangat relatif. Dan malam ini ruang transisi sedang dalam status dingin.

...

Beberapa hari belakangan, sepertinya langit tidak begitu ramah pada bumi dan manusia. Tak ada hari yang absen dari guyuran hujan yang ditumpahkan dari langit. Ya. Bukan lagi mengucur, tapi tumpah! Daerah renon yang menurutku cukup aman dari banjir saja bisa tergenang air setinggi 50 sentian. Bahkan ada seorang teman yang libur karena kantornya ikut tergenang!

Setiap hari, hanya bisa merinding ketika melihat melihat ke luar kaca jendela dari dalam kantor. Merinding membayangkan rasanya berada di luar sana. Hujan deras disertai angin yang cukup kuat untuk menggoyangkan sebatang pohon yang selama ini terlihat begitu tegar. Mungkin langit memang sedang kesal pada manusia yang mulai tidak menghargai alam.

Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan klasik (menurutku) yang selalu menjadi bahan cercaan dosen ketika setiap akhir semester seorang mahasiswa mempresentasikan desainnya.

"Ini kalo mau kesini pas hujan bagaimana? Gak ada atapnya gini"

Dulu aku hanya bisa garuk-garuk kepala dengan tersenyum pahit. Jawaban yang menurutku cukup masuk akal saat ini adalah:

"Ya basah pak"

Ya...

Basah...

Alam hadir lebih dahulu daripada manusia. Hujan yang merupakan karya agung dari langit, dapat dijadikan teman atau lawan. Ada saatnya kita diam hanya untuk menikmati karya agung dari langit tersebut. 

Alam merupakan sumber pengalaman yang luar biasa yang selalu berusaha menyapa anak-anaknya. Ada saatnya bersentuhan dengan air, berlari melewatinya dengan payung, atau sengaja menerobos dengan kepala basah menghasilkan sebuah pengalaman yang berbeda daripada melewatinya dengan lantai dan atap yang nyaman. Terdapat kejujuran dan kenaifan dalam pengalaman itu. Ada yang tertawa setelah menerobos hujan karena dalam beberapa langkah lari tersebut alam menyentuh memori masa anak-anaknya.

Hanya sebuah justifikasi yang relatif.

Lebih banyak alasan menurut ego manusia untuk menyangkalnya.

Tapi satu yang kupegang, bahwa alam ingin menyentuh kita semua dalam berbagai cara. Tergantung kesensitifan sang arsitek untuk menerjemahkan bahasa alam tersebut sebagai teman dalam desain. Agar sentuhan tersebut sampai kepada penikmat arsitektur.

Seperti kata Pak Joseph Prijotomo " Arsitektur nusantara adalah rumah di dalam kebun. Bukan kebun di dalam rumah"

Kebun Sanur, 20:00 WITA
Kantor telah sepi. Tinggal aku sendiri, rekan yang tadi menemani sudah pulang lebih dulu. Mungkin sudah saatnya aku juga ikut beranjak untuk menikmati ruang transisi di luar sana yang pastinya masih dingin. Menyapa alam, menyelami bahasanya....

1 komentar:

badri mengatakan...

Pemikiranlah yang akan membentuk dan memperkuat pemahaman. Pemahaman terhadap segala sesuatu. Orang-orang kemudian akan mengatur setiap keputusan, tindakan dan sikapnya sesuai dengan persepsinya.

menurutku ini berlaku di dunia yang kita geluti sekarang...

Iya ngga sih?