Sabtu, Februari 07, 2009

Smile!


Jumat, 22:00 WITA
Lokasi : Kamar kos

Tak terasa satu hari lagi dari perjalanan panjangku untuk menjadi orang baik berhasil kulalui. Kuletakkan tasku di sudut kamarku, tempat biasanya dia kuletakkan. Kurebahkan badanku di kasurku yang sudah terlihat usang. Pembicaraan terakhir dengan beberapa rekan yang menutup rutinitas kerja hari ini adalah seputar Adi Purnomo dan Romo Mangun. Tentang kecerdasan mereka menggauli material. Kemampuan yang hanya bisa didapat dari pengalaman yang matang dan jam terbang yang tinggi, itu menurutku. Kedekatan mereka dengan material yang tidak hanya berupa tarikan garis dan tulisan di atas kertas. Kedekatan dengan pelaksana pembangunan yaitu para tukang, dan membuat desain yang memanusiakan mereka.

Masih dalam lamunanku malam ini, tiba-tiba terlintas masa-masa dimana aku berguru dengan salah satu murid romo Mangun yaitu Pak Pradipto. Beberapa kali aku diajak untuk mengunjungi proyeknya, yang sedang dalam tahap konstruksi ataupun yang sudah terbangun. Dari beberapakali kunjungan tersebut, ada 2 proyek yang membuatku sangat terkesan sampai saat ini, rumah seorang wanita ekspatriat jerman dan rumah seorang seniman yang sudah memiliki jam terbang yang tinggi di dunia seni nasional maupun internasional.

...

Pada saat mengunjungi rumah pertama, kami langsung disuguhi keramahtamahan ala manusia eropa. Rumah yang tidak begitu besar, hanya terdiri dari 2 lantai berisi 3 kamar tidur, ruang kerja, dapur dan ruang tamu. Yang luar biasa hanyalah material yang digunakan seluruhnya dari kayu dan atap dari alang-alang. Tak ada kesombongan dalam desain, yang ada hanyalah kesederhanaan dan kebauran dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Keteduhan dalam naungan atap dan vegetasi menyatu dalam obrolan-obrolan ringan diiringi beberapa teguk coklat hangat dan potongan biskuit.

...

Demikian juga rumah kedua, rumah dengan keterbukaan, dan tidak terlalu besar. Sesuai dengan pernyataan seorang Adi Purnomo, seberapa cukup adalah cukup. Kami diterima di ruang tamunya yang terbuka. Kebebasan jiwa dan kesahajaan seorang seniman tercermin di dalam ruang tamu yang tidak terlalu besar ini. Tak ada formalitas. Yang ada hanya kejujuran.

...

Bukan soal desain, atau bukan juga soal konsep yang membuatku teringat akan kedua desain itu. Aku hanya teringat akan senyum kedua pemilik rumah itu.

Ya. Senyum.

Senyum kebanggaan akan tempat tinggal mereka walaupun bukan istana termewah. Senyum yang mencerminkan kenyamanan walaupun rumahnya tak luput dari kekurangan desain. Senyum kekayaan walaupun kulit ketiganya hanya terbangun dari keterbatasan dana. Senyum kepuasan walaupun rumahnya tak pernah diekspos dan digembar-gemborkan di depan publik.

Masterpiece yang tercipta dari dialog, bukan hanya ego arsitek. Karya agung yang terpatri dalam hati arsitek dan klien.

Seperti pentingnya senyum si orang penting,  begitu juga pentingnya senyum dalam arsitektur bagiku.

Hmmm....

Arsitektur untuk senyum, mungkin itulah yang harus kukejar...

2 komentar:

Anonim mengatakan...

SMIIIIILEEEEEE FOOOORR YOUUUURRR SOUUUUUUULLL.... :)

*masihbalikkantorto,bang?!ckckck

subasuba mengatakan...

arsitektur untuk kebahagiaan.

selangkah dengan bahagia dengan membuat arsitektur.

itu kan yang kamu kejar?

(beli bukunya : 50 dolar! tinggal satu di basheer!)