Kamis, November 20, 2008

intimidated and rebellion space



"Revolution is not a dinner party, nor an essay, nor a painting, nor a piece of embroidery; it cannot be advanced softly, gradually, carefully, considerately, respectfully, politely, plainly, and modestly. A revolution is an insurrection, an act of violence by which one class overthrows another". Mao Zedong

Akhirnya aku punya sejumput waktu, untuk sedikit berceloteh tentang kegelisahan arsitekturalku, setelah dalam kurun waktu yang cukup lama terus dihujani si garis mati (deadline) yang sangat fenomenal di kantorku.

Beberapa waktu yang lalu aku lagi-lagi terlibat dalam diskursus arsitektur ilegal dengan sebuah rekan. Walaupun sebenarnya diskursus ilegal tersebut berjalan relatif satu arah, karena kebanyakan aku hanya mendengar dan sedikit menimpali. Satu kutipan yang masih terngiang sampai sekarang adalah " pembaharuan tidak akan terjadi tanpa revolusi". Revolusi, sebuah kata yang menampilkan disequilibrium,  pemberontakan, ledakan emosional dan kultural, sebuah perubahan. Masih berkaitan dengan kata revolusi, beberapa pekan belakangan, dunia sedang dilanda demam obama, satu hal yang menarik dari sosok fenomenal ini ada janji yang dia kemukakan untuk memenangkan pemilihan presiden amerika serikat dengan slogan " change : we can believe in". Sedikit penggalan pidatonya yang cukup membakar:

“One voice can change a room. And if a voice can change a room, it can change a city. And if it can change a city, it can change a state. And if it can change a state, it can change a nation. And if it can change a nation, it can change the world.” (obama, 2008)

Sebuah janji pembaharuan dengan pidato yang menggunakan abstraksi patriotik yang menurutku mirip dengan pendekatan teori butterfly effect. Sebuah teori dengan analogi bahwa kepakan seekor kupu-kupu bisa menjadi badai di belahan dunia lain. Teori yang lebih rumit dari analoginya. Apakah ini pertanda revolusi? Bisakah seorang obama benar-benar membawa perubahan atau hanya differensiasi?

Ha ha ha..... Nggak, aku nggak akan berbicara politik lebih jauh dari hal tadi, atau aku juga sedang tidak mengajak orang-orang untuk menabuh genderang revolusi. Semua hal tadi hanya pemikiran-pemikiran yang mengantarkanku kembali pada pertanyaan ruang, pada arsitektur. Ruang sebagai sebuah organisme yang punya rasa sensitif. Sebuah bagian dari gaia. Berbicara mengenai ruang yang sensitif, sebuah pertanyaan arsitektural oleh sang superstar bernard tschumi terngiang di kepalaku: apakah ruang sebagai material mempunyai batas? apakah ada ruang diluar batas tersebut? kalau tidak ada ruang, apakah ini berarti sesuatu dibentangkan secara tak terbatas?

Tenang, pertanyaan tersebut memang bisa menjadi diskursus yang panjang dengan level tinggi, dan aku belum sampai kesitu. Dari berbagai kutipan-kutipan dan analogi-analogi diatas, hanya untuk membawaku kepada sebuah kritik akan sebuah keadaan ruang yang unik. Ruang yang diberikan batas secara konteks dan konten untuk menjadi beda, untuk menjadi tumbal, untuk menjadi ruang pembenaran. Bayangkan sebuah ruang yang dituntut untuk menjadi simbol, untuk menjadi menjadi benar dalam sebuah konteks yang sudah terlanjur memperkosa konteks kawasan dan juga memperkosa konsep ruang kompleks itu sendiri. Ruang pembenaran, ruang yang dipaksakan berbagai macam konten untuk menjadi superhero. Akan terjadi jika ruang tersebut merupakan ruang yang penurut. Namun sebagai sebuah bagian dari gaia, ruang juga mempunyai kesensitifan terhadap intimidasi konteks dan konten tersebut, punya keseimbangan di dalam ruang dan punya batasan dalam kesensitifannya. Jika sudah melebihi kemampuan ruang, maka yang terjadi adalah pemberontakan ruang. Terjadi penolakan batas, penghancuran konten, pelecehan struktur, pencorengan muka konteks, penamparan konsep. Ruang kecil yang dihimpit dan diintimidasi secara berlebihan tentu saja ingin bersuara untuk menyampaikan ketidaknyamanannya, kegelisahannya.

Dalam kasus seperti ini, ruang memiliki batas relatif, batasnya adalah ruang lain. Dan ruang selalu bereaksi terhadap batasnya tergantung intimidasi yang diperoleh. Yup! Ruang bisa memberontak, aku nggak berbicara mengenai bentuk, karena pemberontakan bentuk bisa diacuhkan, tapi untuk bisa menampar, diperlukan lebih dari itu.

Apakah ini sebuah bisa menjadi sebuah kepakan kupu-kupu yang bisa menimbulkan badai ruang? Apakah usaha pemberontakan ruang tersebut dapat berubah menjadi revolusi dan membawa ke pembaharuan?

Change, we can believe in....
:-)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ini apaaaaa? >,<;
...
...
...
...
well, at least aku nemuin satu vocab baru...
"gaia" =)
Thanks riP...
terus cintailah arsitektur...
kalo ada yang pesen kitchen set,
bilang ke gw...

Anonim mengatakan...

wakaranai ,,,, imi wa nani?

demo ,,, ganbare ne


-green yume-