Rabu, Desember 17, 2008
Ngantuk
Senin, Desember 15, 2008
Dosa
Jumat, Desember 12, 2008
Overture 2008: regression
Selasa, Desember 09, 2008
Koruptor Idiot
Rabu, Desember 03, 2008
Void....
Selasa, Desember 02, 2008
Menarilah!
Minggu, November 30, 2008
Cacing
Minggu, November 23, 2008
Warna
Kamis, November 20, 2008
intimidated and rebellion space
Minggu, Oktober 19, 2008
Architecture as a Silent Music
Minggu, Juni 29, 2008
Hijau
Masih terbayang jelas, dulu, saat aku masih ingusan di 'rimba' kalimantan, tak sulit menemukan pohon-pohon besar, hutan yang luas, dan udara yang sedemikian segarnya hingga cukup dihirup sekali untuk mendapatkan kesegaran selama berminggu-minggu (hiperbolis memang, namun begitulah perasaan yang kualami). Sering sekali aku dan teman-teman 'rimba'ku bermain perang-perangan dengan biji karet, berlarian dengan ringannya diantara semak-semak dan pohon-pohon. Bersembunyi di balik daun-daun besar dan semak-semak liar yang tumbuh dengan bebasnya. Menjelajah hutan bak seorang petualang yang ingin menemukan sumber energi yang langka. Menantang arus di riam-riam yang cukup ganas. Menyebrangi sungai-sungai kecil yang dialiri air-air gunung yang segar. Menemukan danau kecil tersembunyi yang airnya sangat bening, sehingga dasarnya yang memang tidak terlalu dalam dapat terlihat jelas.
Namun sejak kalimantan yang perawan mulai di perkosa oleh perkebunan kelapa sawit dan penebang hutan liar, satu-persatu noda bermunculan, ribuan hektar hutan menjadi hutan kelapa sawit, diratakan, dibakar, ditebang, ditinggalkan, digerogoti, diperas, dinistakan, direndahkan, disia-siakan. Bencana asap semakin sering, banjir sudah menjadi rutinitas tahunan, dan banyak lagi bencana alam, ekonomi dan sosial yang diderita oleh masyarakat kalimantan.
Sebagai anak 'rimba' yang mencoba berarsitektur, hati dan otakku tercakar dengan kepedihan, ingin memberikan sesuatu kepada 'rimba'ku, dan memori masa kecilku. Aku ikut dirasuki oleh wabah 'hijau' supaya otakku yang kecil ini bisa berguna sedikit untuk tanahku. Salah satu alasan kenapa aku memilih untuk menjadi 'tukang kebun' daripada arsitek bangunan dan ingin belajar banyak dari 'tukang kebun senior'di sebuah rumah di balik semak,sanur.
Kata 'hijau' sungguh luar biasa dikembangkan oleh orang-orang arsitektur yang pintar di luar sana. Tak terhingga teknologi telah diciptakan untuk membuat arsitektur lebih memikirkan lingkungan, lebih bersahabat dengan alam. Dari lampu hemat energi, photovoltaic, atap rumput, hingga metode konstruksi yang hemat energi. Bangunan-bangunan dengan label 'hijau' berlomba-lomba dibangun oleh arsitek-arsitek ternama di seluruh belahan dunia. Sebuah tren yang positif (semoga saja). Suatu citra yang ingin kucapai sebagai arsitek sebelum aku datang ke sanur.
Di sanur, aku belajar tentang lokalitas, betapa hebatnya lokalitas, dan yang begitu luar biasa adalah betapa hijaunya lokalitas. Sebelumnya aku terlalu banyak melihat keluar, sehingga kejeniusan di dalam tubuh sendiri tidak terlihat. Dengan membawa nama 'lokal' segala sistem yang berjalan didalam suatu bangunan sangat harmonis dan sinergis dengan alam. Siklus-siklus yang telah ada sebelum bangunan tercipta tidak terganggu dengan adanya bangunan. Bahkan bangunan memiliki siklus sendiri. Tidak ada pemaksaan arsitektur, semua sangat 'normal'. Sensitif terhadap keinginan bumi yang dipijak, bukan hanya keinginan manusia. Aku menemukan bukan energi yang menjadi kata kunci dalam arsitektur hijau, tapi siklus. Siklus arsitekturlah yang harus direncanakan secara mapan, bumi-material-konstruksi-dekonstruksi-material-bumi. Entah itu menghabiskan energi banyak atau sedikit, jika sudah mengedepankan siklus yang hijau, bumi tidak akan menderita. Apakah ini hanya sebuah mimpi arsitektur idealis? Paling tidak wacana ini yang akan kupegang untuk berkarya dalam 'rimba' yang liar bernama arsitektur.
Beberapa waktu yang lalu aku menemukan sebuah image yang luar biasa di internet. Apa ini bisa dikatakan arsitektur hijau? Hmmmm.....
Kamis, Juni 26, 2008
Ruang ternyaman (revelation)
Relatif dan absolut tidak pernah absolut sebagai kata sekaligus tak akan pernah relatif sebagai kata.
Kata tidak pernah stabil sebagai sebuah kata. Tidak stabil hanya merupakan penistaan terhadap kestabilan.
Generalisasi memudahkan pemahaman kata sekaligus mengaburkan pemahaman kata.
Semua kata adalah absolut (acuan=otak=relatif) ketika berada dalam otak, namun ketika keluar dari kepala, akan menjadi relatif.
Keadaan kata yang absolut adalah ketika kata itu dialami, yang tentu saja relatif terhadap kata yang sama pada acuan yang berbeda.
Jangan tanyakan artinya, alamilah kata!
Ruang ternyaman
Tidak terasa sudah hampir 4 bulan aku mengais rejeki di sebuah studio desain dibalik semak di sanur, bali. Sudah 3 kali aku masuk keruang akuntan kantor untuk menanda-tangani sebuah kertas dan kemudian keluar dengan senyum selebar-lebarnya. HA HA HA HA!!!!! Aku tertawa keras didalam hati yang menurutku dengan energi tertawa sekeras aku akan bisa merobohkan bangunan kantorku dan menyapu siapapun yang berada di sekitarku dalam radius 10 kilometer!!!!
Sayang aku tidak cukup gila untuk mengeluarkan tertawaku itu, dan akibatnya semua makhluk dan benda disekitarku masih baik-baik saja. Paling orang-orang disekitarku cuma melirik dengan takjub, seakan berkata dalam hati "gila nih orang, senyum-senyum sendiri, ndeso banget, kayak gak pernah gajian aja"
Hah! Yang penting aku senang!
Kemudian aku teringat orangtuaku. Tak traktir pulsa ah, biar mereka bangga pada anaknya yang sudah bisa nyari duit sendiri. Ok! Begitu jam menunjukkan pukul 6 aku langsung cabut dengan motor supra x 125 ku yang menurutku agak sakit kurang istirahat. "Yah nanti giliranmu tak traktir, sekarang antar aku beli pulsa dulu. Ok?" kataku kepada motor sematawayangku agar dia tidak iri karena aku mentraktir orangtuaku. Walaupun sampai sekarang dia belum juga tak anter check-up. Haha! Sabar ya.
Setelah pulsa sukses terkirim, kemudian datanglah sms dari ibuku. "Makasih ya" Deg!! Tiba-tiba seluruh memori tentang ibuku menyerang otakku. Menampilkan adegan-adegan yang bernilai dari yang gembira sampai yang sedih. Satu sengatan ide tiba-tiba menyerang otakku. Ibuku ternyata juga arsitek!
Kenapa bisa begitu?
Bayangkan, seorang ibu, bisa menyediakan sebuah ruang untuk seorang calon bayi yang sangat rapuh, melindunginya dari bentuk sel hingga tumbuh menjadi calon manusia yang sudah siap menghadapi tidaknyamannya dunia. Sebuah ruang yang tidak hanya nyaman secara fisik, namun juga secara emosional. Ketika tiba di dunia, sang bayi menangis, apakah itu mengisyaratkan dia tidak rela dijauhkan dari kenyamanannya?
Sepanjang hidup dan sejarahnya, manusia selalu mencari "kenyamanan". Apakah ini sebuah nostalgia akan memori masa bayi seorang manusia? Yang jelas kata "kenyamanan" tidak akan pernah bisa dijelaskan secara objektif, akan selalu subjektif. Mungkin memasang kata "relatif" di belakang kata "kenyamanan" membuatnya menjadi lebih terbuka dan subjektif. Kenyamanan relatif. Relatif terhadap kenyamanan tubuh lain di luar tubuh sendiri. Dan relatif terhadap kenyamanan tubuh sendiri, karena kenyamanan absolut tubuh sendiri tak akan pernah tercapai dan selalu berubah-ubah.
Balik lagi, apakah kenyamanan ruang ibu merupakan kenyamanan absolut yang manusia cari? Apakah arsitektur merupakan upaya manusia mencari kenyamanan absolut seperti kenyamanan dalam ruang ibu? Apa sebenarnya kenyamanan itu?
Hmmm..... kalo bisa masuk lagi ke "ruang ibu" mungkin aku bisa menjawab apa arti kenyamanan relatif bagiku...
Minggu, Mei 25, 2008
orang baik
Tak disangka ternyata aku duduk di belakang salah satu tokoh politik terkenal Indonesia, yaitu pak Amin Rais! Kesan yang timbul bukan "Ye ye, aku ketemu orang terkenal!", tapi : "Oalah orang terkenal di depanku ternyata pendek!" Ha ha ha ha....
Maaf pak,...
Tentu saja, seperti acara wisuda yang sudah pernah kulewati, acaranya sangat membosankan. Aku bahkan sempat nyaris tertidur beberapa kali, kalau saja yang duduk di belakangku bukan orangtua si "orang penting" tersebut. He he he....
Kemudian tibalah di suatu acara, salah satu wakil wisudawan untuk memberi sambutan. Seorang kartini muda, yang dengan bangga melangkah ke arah podium.
Setelah beberapa patah kata pembukaan konservatif dengan embel-embel yang saya cintai, hormati, dan banggakan, sang kartini muda memulai sambutannya mewakili wisudawan/i. Sebagai seorang sarjana sastra Indonesia, kata-kata yang mengalir begitu indah dan berkelas, istilah-istilah yang bahkan sangat jarang ditemukan di koran seperti dehumanisasi, liberalisasi, aktif-preventif dan banyak lagi kata yang berakhiran -asi dan -if. Dan tiap kali sang kartini muda itu melontarkan kata-kata saktinya, para wisudawan dan tamu bergemuruh dan bertepuktangan. Yang tentu saja membuat sang kartini muda semakin besar kepala dan semakin menaikkan volume suaranya seakan nggak mau kalah dengan gemuruh yang didengarnya. Isi sambutannya mengenai mimpi-mimpi untuk menguasai ilmu pengetahuan dan penerapannya di masyarakat. Aku menang! Mungkin itu yang dipikirkannya.
Tapi...
Sayup-sayup dan lumayan sering kudengar, gemuruh yang berasal dari gerombolan wisudawan/i, bukan hanya tepuk tangan, tapi juga sebuah teriakan " YA UDAH MBAK, CEPAT TURUN"
Setelah selesai memberi sambutan, sang kartini muda turun podium dengan bangga dan hidung yang mengarah ke langit diiringi gemuruh.....
Kesanku cuma, kasihan mbaknya....
Dia pintar, tapi tidak pada tempatnya. Yang terjadi barusan hanya pembodohan, arogansi, autis dan narsisme (ikut-ikutan pake kata sakti). Dia tidak sadar kalau tidak semua yang wisuda pintar dan memahami kata-kata itu.
Begitu banyak orang pintar di negeri ini, demikian juga yang bodoh. Tidak terjadi perkembangan di negara ini, karena yang pintar gengsi menjadi bodoh dan yang bodoh pesimis dan rendah diri untuk jadi pintar. Menurutku, semua orang pintar pada porsinya dan sekaligus bodoh pada porsinya.
Aku tidak mau jadi pintar atau bodoh. Aku cuma mau jadi orang baik. Kalau semua orang baik pasti dunia bisa menjadi tempat yang lebih baik untuk hidup. Kepintaran dicatat di dalam sejarah dunia, tapi kebaikan dipatri selamanya di dalam hati setiap orang yang menerima kebaikan.
Aku sedang berarsitek untuk mencari arsitektur yang baik yang terpatri secara personal, tidak harus dicatat sejarah.....
hmmm.....
Jumat, Mei 16, 2008
nafsu
"bedanya maksimalis dan minimalis adalah, maksimalis mengumbar nafsu, sedangkan minimalis menahan nafsu"
Terlepas dari diskusi ilegal kami yang sulit dipertanggungjawabkan, otakku tergelitik dengan pertanyaan, kenapa kami bisa mengkotakkan arsitektur menjadi minimalis dan maksimalis. Apakah ada kategori-kategori yang harus dimiliki untuk mendapatkan kotaknya?
Apakah ada batas minimal untuk disebut maksimalis, dan sebaliknya apakah ada batas maksimal untuk disebut minimalis? Kalau batasnya sangat bias, berarti tidak ada sesuatu yang layak disebut maksimalis atau minimalis, yang ada hanya relatif maksimalis dan relatif minimalis.
Mungkin kedua kata itu memang dekat dengan nafsu, tergantung seberapa besar nafsunya, seberapa kuat menahan nafsu, apakah nafsunya hanya untuk satu hal atau banyak hal, nafsu dengan pikiran kotor atau bersih, liar atau tenang. Si nafsu memang keren, bisa menentukan jalan hidup seseorang.
Kalau dianalogikan sebuah jalan yang lurus, berarti kita bisa menemukan maksimalis yang minimalis atau minimalis yang agak maksimalis. Tapi kenyataannya jalan yang ada tidak lurus, sangat bercabang. Bahkan tidak jarang menemukan perempatan atau perduapuluhan atau perseratusan.
Astaga! Apakah pemikiranku ini sebuah gejala arsitekturisasi? Gawat!
Yah, aku baru ngisi bensin untuk bisa jalan di salah satu jalan itu. Semoga bannya tidak pecah di jalan atau terpaksa ganti ban. Modalnya cuma peta buta dan sepenggal informasi dari pak tua yang kutemukan di gerbang jalan yang berkata nanti masnya jalan lurus aja, trus mentok belok kiri, trus kanan, kiri, muter, nanya, beli peta, kiri, luruuuuuuuuuuuus aja. Nah kalo ketemu orang ya nanya orang itu"
Oke, saatnya distarter...
Brrrrruuuummmm!!!!!!
Kamis, Mei 15, 2008
romantisme gua
Aku hidup di jaman ketika arsitektur sedang puber, beranjak dewasa dan nakal selayaknya masa-masa pencarian jati diri anak sma. Senang coba ini-itu tanpa peduli resiko di masa tuanya, temperamen, berusaha tampil menarik untuk menggoda lawan jenis, dan sifat-sifat labil lainnya. Ya, memang arsitektur belum dewasa, entah makan waktu berapa lama untuk dewasa. Aku juga belum dewasa, bahkan tidak tahu definisi dewasa.
Ya sudahlah, nanti saja memikirkan masa depan. Paling tidak aku sudah melewati 24 tahun di bumi ini, sudah 24 tahun memori terekam di arsip otakku (mungkin ada yang sudah di masukin gudang atau sudah diberikan pemulung untuk didaur ulang), paling tidak yang sudah masuk arsip bisa dibaca ulang yang kata orang-orang disebut "bernostalgia", dan tersenyum-senyum sendiri....
Bagaimana dengan arsitektur, pastinya arsitektur juga punya arsip. Aku penasaran, apa isi arsip di masa-masa awal arsitektur. Pikiranku melayang-layang (mungkin si otak sedang mencari doraemon untuk meminjam mesin waktu). Dan pikiranku tiba di jaman purba, dimana homo sapiens mulai menemukan kebudayaan. Masa lalu dari semua sejarah bumi termasuk arsitektur dimana semua masih alami, utuh, perawan, lugu, sederhana, liar, tanpa batas dan indah..
Akhirnya kutemukan arsitektur paling primitif yaitu gua, entah itu bisa disebut arsitektur atau bukan. Namun jika menilik kemampuan manusia purba untuk mengenal ruang, dan kenyamanan relatif yang ditimbulkan dari ruang primitif itu, walaupun bukan manusia yang menciptakannya, maka untukku itu bisa disebut arsitektur, arsitektur oleh alam mungkin.
Sebuah gua, sebuah ruang yang menyatukan sekaligus mengisolasikan manusia dengan alam. Didalamnya manusia berinteraksi, beraktifitas, melindungi dan dilindungi, melayani dan dilayani tidak ada ruang yang memisahkan antar mereka.
Tak perlu ada perebutan hak tanah, semua tanah dan lansekapnya adalah milik manusia, dan manusia bebas menempatinya.
Tak ada saling menutupi pandangan dan mengklaim pemandangan untuk sendiri. Seluruh pemandangan yang nampak boleh dinikmati semua orang. Setiap hari ketika keluar dari gua, manusia disuguhkan karya arsitektur agung oleh ibu alam yang dinamis, hidup, bernafas, beregenerasi, bersuksesi, memperbanyak diri, menghidupi diri sendiri, mati, gugur, tumbuh, berubah warna, hangat, dan yang terpenting luar biasa indah dan menggugah jiwa (membayangkan keluar dari gua setelah bangun pagi).
Kuhirup udaranya sebanyak mungkin……….
Ah…. Si Doraemon sudah mengajak pulang
Kapan ya bisa mencoba tinggal di gua?
pohonku anakku
Satu waktu, aku nonton sebuah dorama jepang. Dalam sebuah episode diceritakan seorang bapak membuat cacat lemari kayu kesayangan sang istri, karena lemari itu hadiah pernikahan mereka. Sang bapak yang takut tidak memberitahukan istrinya kalau lemarinya cacat. Diam-diam dia ke hutan terus menanam sebatang pohon dengan kayu yang sama dengan kayu lemari istrinya. Setiap hari sang bapak merawat pohon itu tanpa diketahui istrinya.
20 tahun kemudian...
Sang bapak menghadiahi sang istri lemari baru dengan bentuk yang sama dengan lemari istrinya yang rusak dari kayu pohon yang ditanamnya. Sang istripun menangis melihat tekad yang kuat dari suaminya dan semakin jatuh cinta.
Pasca nonton...
Aku cuma sedikit merenung, jika saja, untuk setiap satu anak yang lahir ke bumi, orangtua menanam sebatang pohon yang nantinya bisa digunakan sang anak untuk membangun rumahnya, sedikit banyak bisa mengurangi beban bumi untuk memberikan perlindungan bagi kita. Dan tentu saja bisa menghijaukan bumi.
Tradisi satu anak satu pohon sudah ada di aceh, bedanya, kalau di aceh hanya sebagai simbol, dan pohon tersebut tidak boleh ditebang dengan alasan apapun.
Pernah baca dari blog tetangga juga, tentang ide satu anak satu pohon. Tapi sebagai manusia bodoh yang masih keras kepala mempelajari arsitektur, tiba-tiba terbersit, agaknya satu pohon untuk satu anak bisa dijadikan alternatif bahan material yang sustainable.
Baru sebuah angan memang, namun mungkin bisa menjadi angin segar di masa depan.
Ketika pohon menjadi sangat diidolakan manusia dan sudah terlalu banyak dan populasi manusia menurun, bisa dibalik, satu anak untuk satu pohon, jadi, setiap menanam satu pohon sang penanam wajib membuat anak. Ha ha ha ha....
Minggu, April 27, 2008
Teras Arsitektur Lansekap
"arsitek landscape tidak akan lebih terkenal dari arsitek hospitality, dan arsitek hospitality tidak akan lebih terkenal dari arsitek bangunan publik"
"ngapain masuk kantor landscape? sayang dong ilmu arsitekturnya"
"arsitek kok bikin patung, bikin ukiran, bikin pot bunga?"
"wah belajar nanam pohon dong?"
Kalimat-kalimat itu mengantarku untuk menjejakkan kaki ke halaman baru yang masih asing dan tidak begitu kuketahui dari bangku perkuliahan, yaitu arsitektur lansekap.
Memang di dunia keprofesian di indonesia, profesi arsitek lansekap masih dikonotasikan dengan tukang bikin kebun. Masih dinomortigakan (mengacu pada pernyataan pertama). Anggapan bahwa arsitek hospitality itu desainnya mahal, karena semua serba eksklusif, apalagi arsitek lansekap, buang-buang duit aja bayar arsitek lansekap, pake satu arsitek aja udah cukup, trus tanam pohon sendiri pake tukang taman, semakin mengkukuhkan predikat nomor tiga arsitektur lansekap.
Ya memang tidak semua yang mengatakan seperti itu, tapi tidak sepenuhnya salah juga. Bahkan sampe sekarang anggapan itu masih ada di pikiranku. Dan memang kenyataanya kerjaanku banyak bikin patung, ukiran kolom, artwork, pot bunga, kolam pancuran dll, yang kalau dibandingkan dengan idealisme arsitektur saat bangku kuliah terasa jauh sekali dan terkesan main-main.
Dalam sebuah proyek, lansekap selalu masuk belakangan ketika desain dari arsitek utama sudah jadi. Dari posisi ini arsitek lansekap cuma jadi penonton untuk bangunan karya arsitek lain. Dan 'hanya' mengisi kekosongan yang terjadi dalam desain sang arsitek. Kalau menuruti ego sebagai arsitek yang ingin mendesain bangunannya bukan tamannya, jelas lansekap tidak akan bisa mengakomodasinya.
Sebaliknya menurutku dari posisi ini justru dunia arsitektur bisa terlihat lebih luas dan lebih bebas beridealisme. Lansekap bisa menjadi sebuah bahasa kritik arsitektur yang ekspresif akan bangunan yang diisinya. Ketika maestro seperti gehry atau zaha hadid mendesain sebuah bangunan yang cenderung 'kering', akan menjadi beban untuk arsitek lansekap untuk menyeimbangkan, walaupun secara tidak langsung, untuk menambah hijau di tempat lain.
Berusaha memahami desain yang sudah ada dan mampu mengisi kekosongan yang dibuat arsitek akan memperluas pengetahuan arsitektur dan kemampuan positioning dalam dunia arsitektur.
Ketika sebuah karya dibuat angkuh, adalah lansekap yang memanusiakannya. Ketika karya menjadi kaku lansekaplah yang melembutkannya. Imajinasi akan ruang sangat dibutuhkan dalam menciptakan lansekap yang sinergis dan manusiawi.
Tidak melulu mengurusi tanaman, justru lansekap menjadi jembatan antara lingkungan buatan dengan lingkungan alami. Bahkan bentuk2 eksploratif dan eksperimental bisa dituangkan dalam lansekap. Sense of art, intuisi, lebih banyak berperan dibanding rasionalitas.
Menarik melihat sebuah karya yang kaya dalam dialog antara lansekap dan building.
Namun pada akhirnya semua itu relatif bergantung pada konteks, dan titik acuan. Itu hanya sedikit yang kuketahui dari sebulan bergulat dengan dunia lansekap.
(dari posting saya di milis arsiduaribudua@yahoogroups.com, sebuah komunitas arsitek UGM angkatan 2002 yang sedang berjuang bersama)