Rabu, Januari 06, 2010

Anti Object-preread thought

Seorang teman baik mengirimkan sebuah buku yang kupesan sudah dari jauh hari. Dia seorang reviewer buku yang sangat kupercaya, dan menurutnya, buku ini cocok untukku. Buku itu sampai di tanganku hari ini.Buku bersampul biru,sangat simple, namun terlihat berbobot. Buku itu berjudul Anti-Object yang ditulis oleh Kengo Kuma, seorang arsitek 'selebritis' dari jepang, Sengaja buku itu belum kubuka satupun lembaran didalamnya, tak ada deretan huruf yang kunikmati, dan tak satupun dogma (asumsiku) yang jadi racun pikiranku. Buku itu hanya kupandangi sampulnya.
...Anti-Object...

Pastilah seorang Kengo Kuma punya maksud dibalik dua kata itu. Berbagai pertanyaan berlalu-lalang di kepalaku, menggelitik, menghibur bahkan menusuk. Apa itu anti objek, apa yang jadi objek, dan mengapa harus anti. Jika buku ini merupakan sebuah kritik arsitektur, berarti objeknya adalah arsitektur. Namun, pastinya sepanjang hayat arsitektur adalah objek, bagaimana mungkin kita arsitek bisa anti kepadanya.

...aku manusia, aku punya badan, aku tidak mungkin hidup kalau aku anti terhadap badanku...

Tidak mungkin seorang Kengo Kuma begitu bodoh untuk melontarkan dua kata itu, yang pastinya kalau dengan pemikiranku tadi malah akan berbalik menyerang karyanya sendiri. Kucoba mengingat pelajaran di jaman sekolah, Bahasa Indonesia, tentang struktur kalimat. Kebetulan ibuku seorang guru Bahasa Indonesia. Seharusnya aku cukup pintar untuk menganalisa melalui struktur kalimat. Melihat kata objek, tentu yang terkait adalah tentang SPOK, hukum dari penyusunan kalimat bahasa Indonesia.

...Subjek Predikat Objek Keterangan...

Kalau dengan analogi ini berarti mungkin saja untuk anti objek. Dalam konteks Arsitektur dan Alam, siapa menjadi subjek dan siapa menjadi objek adalah permasalahannya. Arsitektur saat ini kebanyakan ingin menjadi yang paling menonjol, paling unik, sang penguasa alam, menegasi alam. Mungkin pesan dari seorang Kengo Kuma dalam konsepsi Anti-Object ini adalah mengenai menjadi subjek yang secara positif membangun objek, bukan tentang menghancurkan tubuh objek.

Bukan lagi
Alam melayani Arsitektur
Alam memberi Arsitektur
Alam melihat Arsitektur
Alam sebelum Arsitektur

Tapi sebaliknya
Arsitektur melayani Alam
Arsitektur memberi Alam
Arsitektur melihat Alam
Arsitektur sebelum Alam

Mungkin aku berpikir terlalu banyak bahkan sok tahu sebelum membaca bukunya. Tapi menurutku memiliki pemikiran awal sebelum membaca buku tentu sangat berguna, karena akan tercipta interaksi pemikiran ketika mulai menikmati tulisan di dalamnya. Akan terjadi percikan-percikan dari benturan ide yang membawa ke pemikiran baru. Setelah membaca buku aku akan kembali menulis percikan2 yang terjadi, dan pemikiran hybrid yang keluar setelahnya.

....

Di kiriku tergeletak buku anti-object di kananku teronggok beberapa cube, timer dan blindfold, dua dunia yang berbeda. Tulisan ini kutulis sebagai welcome drink untukku sendiri untuk mulai kembali menyetubuhi arsitektur dalam kata dan dalam karya untuk menggenapi resolusiku di tahun yang baru.

Sudah saatnya kita memberi, sudah saatnya kita melayani dalam arsitektur. Di tahun yang baru.

Happy New Year 2010....

Rabu, April 01, 2009

Yang Ideal Hanya Relativitas

Seorang teman berkisah tentang arsitektur yang asli. Arsitektur di luar kertas bercoretkan tinta. Di luar kosmetik penghias rupa. Di luar prosedur. Di luar trend. Di luar plagiatisme. Di luar majalah arsitektur populer. Di luar otoritas keping-keping emas. Di luar ketenaran. Hanya untuk mempertanyakan identitas arsitektur yang sebenarnya. Pertanyaan yang timbul ketika berbentur dengan realitas. Tulisan yang mengingatkanku untuk menuliskan tentang arsitektur ideal. Gelitikan yang sempat singgah di otakku namun akhirnya hanya ditumpuk di sudut sana, menanti untuk dituangkan...

...

Aku orang desa. Berpikir juga ala orang desa. Ndeso kalo istilah orang jawa. Hampir tiap hari aku mengakrabi pohon-pohon tinggi di lingkungan rumahku. Setiap rumah punya 'kebun' yang kira-kira 3 kali lipat luasan rumahnya sendiri. Sesuatu yang nantinya kulihat sebagai kemewahan.

Bersepeda mengelilingi lingkungan hampir kulakukan setiap sore. Hijau selalu menjadi warna yang dominan. Setiap orang yang kutemui kuusahakan untuk menyapa dengan senyum. Ada yang tidur di teras dengan sangat pulas, bisa kubayangkan enaknya tidur diiringi semilir angin dan suara burung yang seakan menina bobokanku. Ada yang sedang menanam bunga yang baru saja di dapat di hutan, bunga indah yang mungkin di luar sana diperdagangkan dengan rupiah yang tidak sedikit. Ada teman-temanku yang sedang bermain bola di halaman di depan rumahnya. Keriangan mereka menendang bola seakan tertular kepadaku. Akupun tidak bisa menolak untuk mampir sekedar ikut menendang bola dan meriuhkan suasana dengan tawa dan canda.

Bersepeda kembali ke rumah dengan peluh membuatku semakin mengencangkan kayuhan sepedaku agar angin masuk ke dalam bajuku menyapu peluh-peluh itu untuk pergi dan menggantikannya dengan kesejukan.

Masa lalu mengajarkan aku tentang nikmatnya mengalami ruang. Bagaimana mengajarkan aku untuk menghargai arsitektur bukan hanya sebagai batas (boundary) berbentuk ruang (space) tapi sebagai sebuah tempat (place). Kalau ada orang pintar di luar sana mengatakan architecture is the art of space, aku lebih suka mengatakan architecture is the art of place.

Dalam pengalaman ruangku aku belajar. Sebuah pesan tertangkap dalam memoriku tentang ruang. Pesan yang akan kusampaikan kembali dalam arsitekturku. Arsitektur merupakan kertas putih berisi cerpen dengan bahasa ruang yang membangkitkan imajinasi dan emosi.

Arsitektur identik dengan building, namun bagiku, arsitektur itu tetap sebuah ruang dan tempat, apapun bentuknya entah itu building, interior, lansekap, artwork, manusia, dengan tujuan yang sama, untuk dunia yang lebih baik.

Mungkin terlihat terlalu naif di tengah gencarnya publikasi para superhero arsitek, di tengah terbangunnya bangunan supercanggih, di tengah konsep yang njelimet berdasarkan filosofi tingkat tinggi, di tengah bertebarnya keping-keping emas untuk bangunan yang memuaskan para manusia awan. Bahkan terlalu naif di tengah deadline superketat dari kantor.

Entahlah, aku hanya berpikir cara orang desa menikmati ruang. Cara orang desa bersahabat dengan alam dan bangunan. Cara orang desa menciptakan tempat (place) dari ruang mereka.

Hmmm....

Jadi, apa arsitektur bagi ideal anda?

Selasa, Maret 24, 2009

Scramble and Solve!

Berhari-hari aku kecanduan pada yang namanya rubik's cube. Ajaib memang benda satu ini. Puzzle sederhana berbentuk kotak 3x3x3 dengan 6 sisi berbeda warna yang memiliki 43252003274489856000 (mungkin disebut 43 juta triliun, atau ada istilah lain?) kemungkinan kombinasi!!!! Gila! Berbagai video tutorial kupelototi. Dari metode beginner yang berhasil kupraktekkan dalam 2,5 menit, hingga metode friedrich yang bisa membawaku menyelesaikan puzzle ini dalam 35 detik (rekor terakhir).

Dan yang lebih membuatku bangga pada mainan satu ini adalah sang pencipta yang bernama Erno Rubik adalah seorang profesor arsitektur asal Hongaria. Jenius! Namun beliau juga frustasi pada puzzle ciptaannya bahkan berkata bahwa puzzle ini mustahil untuk diselesaikan. Mungkin backgroundnya sebagai manusia berlabel arsitek membawanya untuk menciptakan mainan yang berhubungan dengan warna dan kotak (ruang). Berhubungan dengan order dan disorder. Sebagaimana paham materialisme yang sangat mengakar pada budaya barat. Bagaimana membongkar ruang yang kotak dengan diputar (twist) dan dibengkokan (bend).

Cuma mengira-ngira...

Tapi yang pasti, arsitektur selalu berkaitan dengan ruang dan warna. Bahkan di dalam sebuah site yang masih telanjang dan naif merupakan sebuah ruang dengan warna yang masih acak. Kesensitifan dan kejelian arsiteklah yang membawa warna-warna itu kedalam sebuah tatanan seperti layaknya rubik's cube yang telah solve, atau membawa warna-warna itu kedalam sebuah formasi acak yang baru yang memiliki makna baru bagi ruang naif itu.

Hmmm....

Kembali meracau yang tidak jelas.

Kalau pertanyaan dari blog seorang rekan arsitek pintar : "Can you merge space?"

Pertanyaanku adalah:

"Can you solve space?"

Kamis, Maret 19, 2009

Gear

Gear

Blogku mati suri...

Blogku koma...

Blogku mengalami regresi...

Blogku melewati void...

Ah. Setelah cukup lama tidak menjejali halaman blogku dengan pikiran-pikiran ilegalku, untuk memulai lagi tidaklah mudah. Banyak ide yang singgah semudah ide itu untuk pergi lagi, yang akhirnya berujung pada mengaratnya halaman blogku. Tanganku rehat menulis bukan tanpa alasan, tetapi karena satu hal... sebuah leptop.

Yup! Inilah alasanku menunda tulisan-tulisan ilegalku. Sebelum beli aku sudah terlalu bersemangat untuk ngeblog dengan leptop di kosan. Sehingga tidak terbersit untuk menulis di sela kepadatan kantor. Namun karena rencana membeli tertunda hingga sebulan akibat dollar yang terus menggila, akhirnya leptop ini berada di kosanku. Namun baru 2 minggu setelah membeli akhirnya aku berhasil untuk mengumpulkan niat kembali menulis.

Perkenalkan gear terbaruku untuk menulis dan berkarya leptop asus n10j! Yang kusebut leptop konsep. Mengapa? Karena leptop ini hanya berlayar 10,2", hanya  menggunakan prosesor intel atom 1,6ghz, namun telah dijejali vga nvidia geforce 9300. Intinya leptop ini hanya mampu berlari hingga tahap konsep yang memang menjadi tujuanku. Sebuah leptop untuk menulis ide, sketsa ide, sketsa 3d dan potoshop ringan dimana saja dan dalam posisi apa saja. Seperti sketchbook, karena aku suka sketsa.

Gear keduaku adalah 2 buah rubik's cube puzzle. Sebuah puzzle yang dari kecil selalu membuatku frustasi karena tidak pernah bisa menyelesaikan hingga saat ini bisa kuselesaikan dalam 50 detik dan membuatku ketagihan.

Itu gear terbaruku, sedangkan gear lamaku masih setia menemaniku adalah bass yamaha rbx 270j dan nintendo ds lite. Bass untuk menyalurkan emosi dalam nada, dan nds yang multifungsi untuk bermain game, mendengar lagu, melatih otak dan belajar bahasa asing.

Kalau dibandingkan dengan gear boss di kantorku yaitu notebook macbook pro, blackberry, iphone, berapa sepeda yang lebih mahal dari motorku, kamera nikon high end d300 dan d2x sepertinya gearku tidak ada apa-apanya. Kata kuncinya hanya seberapa cukup adalah cukup begitu kata sang maestro Adi Purnomo.

Dengan gearku aku bisa berimajinasi dan menuangkannya. Itu cukup.

Arsitektur itu tentang kontrol, begitu kata Putu Mahendra. Bagaimana kita mengontrol alam, mengontrol sirkulasi, mengontrol bahan, mengontrol desain, mengontrol ego dll, hingga mendapatkan sesuatu yang maksimal. Setiap jengkal tanah punya kecerdasan tersendiri, punya teriakan yang berbeda, bagaimana kita sensitif pada teriakan itu dan mengontrol ego untuk bisa bersanding dengan tanah secara harmonis.

Mungkin itu yang sedang kuterapkan pada gearku. 2 kata kunci dari 2 arsitek maestro pada kelasnya, "seberapa cukup adalah cukup" dan "kontrol namun tetap maksimal".

Hmmmppphhh....

What's your architect's gear?

Sabtu, Februari 07, 2009

Smile!


Jumat, 22:00 WITA
Lokasi : Kamar kos

Tak terasa satu hari lagi dari perjalanan panjangku untuk menjadi orang baik berhasil kulalui. Kuletakkan tasku di sudut kamarku, tempat biasanya dia kuletakkan. Kurebahkan badanku di kasurku yang sudah terlihat usang. Pembicaraan terakhir dengan beberapa rekan yang menutup rutinitas kerja hari ini adalah seputar Adi Purnomo dan Romo Mangun. Tentang kecerdasan mereka menggauli material. Kemampuan yang hanya bisa didapat dari pengalaman yang matang dan jam terbang yang tinggi, itu menurutku. Kedekatan mereka dengan material yang tidak hanya berupa tarikan garis dan tulisan di atas kertas. Kedekatan dengan pelaksana pembangunan yaitu para tukang, dan membuat desain yang memanusiakan mereka.

Masih dalam lamunanku malam ini, tiba-tiba terlintas masa-masa dimana aku berguru dengan salah satu murid romo Mangun yaitu Pak Pradipto. Beberapa kali aku diajak untuk mengunjungi proyeknya, yang sedang dalam tahap konstruksi ataupun yang sudah terbangun. Dari beberapakali kunjungan tersebut, ada 2 proyek yang membuatku sangat terkesan sampai saat ini, rumah seorang wanita ekspatriat jerman dan rumah seorang seniman yang sudah memiliki jam terbang yang tinggi di dunia seni nasional maupun internasional.

...

Pada saat mengunjungi rumah pertama, kami langsung disuguhi keramahtamahan ala manusia eropa. Rumah yang tidak begitu besar, hanya terdiri dari 2 lantai berisi 3 kamar tidur, ruang kerja, dapur dan ruang tamu. Yang luar biasa hanyalah material yang digunakan seluruhnya dari kayu dan atap dari alang-alang. Tak ada kesombongan dalam desain, yang ada hanyalah kesederhanaan dan kebauran dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Keteduhan dalam naungan atap dan vegetasi menyatu dalam obrolan-obrolan ringan diiringi beberapa teguk coklat hangat dan potongan biskuit.

...

Demikian juga rumah kedua, rumah dengan keterbukaan, dan tidak terlalu besar. Sesuai dengan pernyataan seorang Adi Purnomo, seberapa cukup adalah cukup. Kami diterima di ruang tamunya yang terbuka. Kebebasan jiwa dan kesahajaan seorang seniman tercermin di dalam ruang tamu yang tidak terlalu besar ini. Tak ada formalitas. Yang ada hanya kejujuran.

...

Bukan soal desain, atau bukan juga soal konsep yang membuatku teringat akan kedua desain itu. Aku hanya teringat akan senyum kedua pemilik rumah itu.

Ya. Senyum.

Senyum kebanggaan akan tempat tinggal mereka walaupun bukan istana termewah. Senyum yang mencerminkan kenyamanan walaupun rumahnya tak luput dari kekurangan desain. Senyum kekayaan walaupun kulit ketiganya hanya terbangun dari keterbatasan dana. Senyum kepuasan walaupun rumahnya tak pernah diekspos dan digembar-gemborkan di depan publik.

Masterpiece yang tercipta dari dialog, bukan hanya ego arsitek. Karya agung yang terpatri dalam hati arsitek dan klien.

Seperti pentingnya senyum si orang penting,  begitu juga pentingnya senyum dalam arsitektur bagiku.

Hmmm....

Arsitektur untuk senyum, mungkin itulah yang harus kukejar...

Selasa, Februari 03, 2009

Love Complex


Dari sejak saat itu, sejak saat aku tidak lagi bersama dia. Hari-hari kulalui dengan datar, bahkan cenderung hampa. Walaupun aku sedang bersama 'dia yang baru' mengisi hari-hariku.

Awal tahun ketika aku diperkenalkan kepada 'dia yang baru', aku merasa senang. 'Dia yang baru' seakan mulai mengisi sudut pikiranku yang tak bisa diisi oleh 'dia yang lama'. Hari demi hari kulalui bersamanya. 'Dia yang lama' benar-benar kuacuhkan. Entah dia merasa sedih atau tidak.

Namun perlahan, kebahagiaan dari 'dia yang baru' terasa semakin semu. Aku mulai merindukan 'dia yang lama'. Walaupun 'dia yang lama' tak sempurna, namun aku tahu dialah yang terbaik untukku.

Semakin lama, kebahagiaan semu itu semakin membusuk. Tak ada hari yang kulalui tanpa kegelisahan dan ketidaknyamanan. Aku harus bisa melepas 'dia yang baru'. Aku ingin kembali pada 'dia yang lama'.

Terlalu banyak kemunafikan pada 'dia yang baru'. Mungkin hanya perasaanku. Aku tertipu oleh rupanya yang cantik. Aku percaya, banyak yang lebih pantas untuk 'dia yang baru'.

Bayangan 'dia yang lama' terus menggangguku. Memori demi memori terlukis kembali, melayangkan nyawaku dari tubuhku yang sedang bersama 'dia yang baru'.

...

Awal bulan ini, akhirnya aku berkesempatan untuk bertemu 'dia yang lama'. Kesempatan emas yang tak akan kubuang untuk memintanya kembali padaku. 'Dia yang baru' kuacuhkan, entah dia sadar atau tidak.

Gayung bersambut, 'dia yang lama' juga membutuhkanku. Semangat itu datang kembali. Semangat yang sempat hilang. Hari-hari kedepan aku akan tambah semangat menghadapi hariku. Karena aku sudah ada 'dia yang lama' di sampingku.

Selamat tinggal kerjaan interior

Selamat datang kerjaan landscape

...

:-)

Jumat, Januari 23, 2009

Cheers...!!!

Pagi hari, setelah aku siap untuk berangkat kerja, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Sebuah buku yang belum pernah kusentuh sejak berada di dalam rak bukuku. Kuraih buku itu, kemudian kubuka beberapa lembar pertama, sampai kepada sebuah halaman...

Dear mr. Arief
May your time with BDS be happy, healthy and fun
cheers
Bill Bensley

Begitu kata-kata mutiara dari pak Bill saat aku meminta tandatangannya di buku barunya "Paradise by Design", sebuah buku portofolio yang berisi masterpiece dari sang master landscape yang kebetulan juga sebagai mahaguru di kantorku ini. Kata-kata sederhana yang membentuk perspektif baru bagiku dalam memandang arsitektur, bahkan dalam memandang hidupku yang sarat ketidakpastian dan kesementaraan.

Happy. Untuk kebahagiaan dalam mendesain. Untuk keoptimisan. Untuk semangat

Healthy. Untuk keseimbangan antara tubuh dan otak. Untuk mengeluarkan seluruh potensi dengan maksimal.

Fun. Untuk bermain dengan imajinasi. Untuk bersenang-senang. Untuk kekompakan dalam tim.

Sinergi ketiganya menghasilkan aura positif yang baik secara sadar maupun tidak tertular dalam desain. Yang membangkitkan aura positif penikmat ruang melalui pesan transeden dalam desain.

It's just the way to make a better place.

...

Membongkar kembali folder-folder kerjaanku di kantor. Untuk mencari jejak aura positif dalam desainku. Akhirnya aku menemukan satu sketsa waterspout sculpture di sebuah project spa di nusa dua. Desain sederhana. Hanya sebuah sculpture kepala dengan waterspout dari mulut.

Hanya ingin berbagi aura positif kepada penikmat ruang. Berdialog dengan subjek arsitektur dalam kejenakaan. Dalam penghiburan. Dalam sebuah pesan...

Cheers....